Operasi Alpha Pembelian
A-4 Skyhawk dari Israel
Memasuki tahun 1979, isu
tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan pesawat-pesawat tempur TNI AU
sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya wajar saja, mengingat kondisi pesawat
tempur F-86 dan T-33 memang sudah tua. Sehingga, kemudian pemerintah harus
mencari negara produsen yang bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika
Serikat ternyata bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih
belum cukup untuk mengisi kekosongan skadron-skadron tempur Indonesia.
Dari
penggalian intelijen, Mabes ABRI ternyata kemudian mendapatkan berita, bahwa Israel
bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki
hubungan diplomatik. Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut
akhirnya terus diupayakan secara klandestin, oleh karena pasti akan menjadi
polemik dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.
Menuju Arizona
Usai tugas menerbangkan F-86
Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33. Namun pada kenyataannya, kondisi
kedua pesawat tempur tersebut sudah sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya
bersyukur, setelah dibuka dua proyek besar untuk mendatangkan kekuatan baru
melalui Operasi Komodo yakni pesawat F-5 E/F Tiger II serta Operasi alpha untuk
menghadirkan pesawat A-4 Skyhawk.
Kerahasiaan tingkat tinggi sudah
terlihat dari tata cara pemberangkatan personel. Saat kami semua sudah siap
untuk berangkat, tidak seorang pun tahu, kemana mereka harus pergi. Operasi
Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11. Setelah
tujuh gelombang teknisi, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari
sepuluh penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.
Sebagai tim terakhir, kami
mendapat pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awalnya hanya mengetahui
bahwa para penerbang akan berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar terbang
disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur.
Setelah mengurus segala macam
surat-surat dan beragam kelengkapan berbau “Amerika”, akhirnya kami berangkat
menuju Singapura, dengan menggunakan flight garuda dari Bandara Halim
Perdanakusuma.
Kami mendarat pada senja hari di
Bandara Paya Lebar, Singapura, langsung diantar menuju hotel Shangrila. Dihotel
tersebut ternyata telah menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI,
berikut sejumlah orang yang masih asing dan sama sekali tidak saling
dikenalkan. Kami akhirnya mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan
kami bukan ke Amerika Serikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum
terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Saat itu salah satu perwira BIA
(Badan Intelejen ABRI, BAIS sekarang) yang telah menunggu segera mengambil
semua paspor yang kami miliki dan mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana
Paspor (SPLP). Keterkejutanku semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny
Moerdani, waktu itu kepala BIA, mengajak rombongan kami makan malam. Dalam
kesempatan tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa
basa-basi langsung saja mengatakan, ” Misi ini adalah misi rahasia, maka yang
merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara
tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan
mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan
dianggap berhasil apabila sang merpati telah hinggap…”
Mendengar ucapan beliau,
perasaanku langsung bergetar. Wah, ini sudah menyangkut operasi rahasia beneran
mirip James Bond. Bahkan sekalanya lebih besar. Bagaimana mungkin membawa satu
armada pesawat tempur masuk ke Indonesia
tanpa diketahui orang? Rasa terkejut semakin besar, oleh karena kami bersepuluh
kemudian langsung berganti identitas yang mesti kuhapal diluar kepala saat itu
juga.
Setelah acara makan malam, kami
harus segera bergegas menuju Bandara Paya lebar dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mulai
sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih
dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara
Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di
Tel Aviv, Israel. Semakin aneh perjalanan,
baru berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung
menyodorkan boarding pass untuk penerbangan ke Tel Aviv pada penerbangan
berikutnya. Sampai di Bandara Ben Gurion, sesudah terbang sekitar empat jam,
aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan
cuma melirik saja, harus kemana jalan, mengikuti arus penumpang lain menuju
pintu keluar.
Tetapi tanpa terduga, kami malah
mendapat perlakuan tidak menyenangkan, sebagai bagian dari operasi intelijen.
Kami langsung ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. hanya pasrah,
oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada
hanya manu dengan hati berdebar.
Tamat riwayatku kini.
Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasia Mossad yang dapat dengan cepat
mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha menyelundup masuk ke
negaranya. Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, tetap saja kami
berpikir buruk. Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal
dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke
Israel.
Sampai diruang bawah tanah, perasaan kami tenang setelah melihat para perwira
BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami memang
sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur khusus, guna
menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.
Kami
langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan
selama berada di Israel.
Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang
bawaan yang berlabel made in Indonesia.
Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, Ani tayas
mis Singapore
yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan
shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, pangkalan udara rahasia
Semalam tidur dihotel, kami
kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati.
Setelah dua hari perjalanan, kami sampai dikota Eliat. Perjalanan dilanjutkan
kembali ditengah padang pasir, setelah melewati
beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar
diwilayah barat kota
Eliat. Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan
hanya berupa angka dan bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base
number nine di hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain.
Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh karena dalam skenario awal
kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan
selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan,
dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4
Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam,
ditemani instruktur israel.
Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan kemudian dilanjutkan
dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. kali ini kami harus
mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi
berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah
utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa
berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail.
Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para
penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama
berlatih.
Pelajaran terbang yang efektif.
Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung latihan lain
seperti saat terbang navigasi atau air to air. sehingga dengan jam yang hanya
diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai
alutsista. Dalam siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah
dengan instruktur ku.
Latihan
terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa pejabat
militer Indonesia
yang semuanya hadir dengan berpakaian sipil. Kami mendapat brevet penerbang
tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang
paling jago didunia. Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah
sedih, oleh karena brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh
para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di
depan mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet,
peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya berpesan,
tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka hapalkan saja
dikepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.
Wing day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air
terjun Niagara. Ternyata kami sengaja dikirim
kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. kami diberi uang saku yang
cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan Satu.Aku juga dibelikan kamera
merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan
mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami
semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS.Akhirnya selama ada objek
yang menunjukkan tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai
background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai
tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran
foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang
kemudian diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di
sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat
terbang hingga kapal.
Di Yuma, Arizona,
kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC),
Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan
pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya. Kami
juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus
menerima ijasah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami
memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan
pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Sebelum
pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghapalkan hasil-hasil
pertandingan bulu tangkis All England. Tambahannya, aku juga diharapkan
menghapal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku
diisolasi di Israel.
Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami
sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari
sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut
F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat
single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat
tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik
pembungkus, berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek
kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.
Nantinya, ketika sudah kembali
lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika.
Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin
melihat foto New York,
aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena percaya,
atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4
di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak
benar ya?”
Last but not
least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar
bulan September 1980.
Berprestasi Tapi Harus Menutup
Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia,
ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah
dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional.
Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik
dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan sama sekali
bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT
ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara
tersebut. Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya
pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi
sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lag tabir yang
sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia.
Mencari detail tentang operasi
Alpha susahnya minta ampun, karena tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain
Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang
sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3
buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My
Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan
otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas. Buku
“Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun
begitu tetep aja susah nyarinya (saya merasa beruntung memilikinya). Bahkan
dibuku otobiografinya benny Moerdani ga dibahas sama sekali. Terimakasih juga
untuk Metro tv yang beberapa bulan lalu juga menayangkan tentang operasi alpha
dalam acara special operation (di liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko
Poerwoko dan satu orang pilot lagi, tapi lupa namanya).
Kontroversi tentang pengungkapan
pembelian A-4 dari Israel
ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base”
diluncurkan, ada polemik yang menyisakan kenangan, yaitu cerita tentang
keterlibatan ke Israel
untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar
rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin
Kasau dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh
selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya punt idak lagi
berkomentar. Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang
perjalanan ke Israel
untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya
masak-masak unung dan ruginya. Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin
KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara.
Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”
Sebagai informasi tambahan,
hingga saat ini bahkan setelah A-4 digrounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU
tidak pernah mengakui operasi alpha pernah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar