Sabtu, 07 Juli 2012

Sukhoi, Pesawat Tempur Tercanggih di Kelasnya





JAKARTA-(IDB) : Mantan Panglima TNI, Endriartono Sutarto, menilai pesawat Sukhoi adalah pesawat burung besi tempur tercanggih di kelasnya. Namun, sebagai pesawat komersil, Endriartono menilai Sukhoi belum teruji.

"Sukhoi itu salah satu pesawat tempur tercanggih di dunia dan di kelasnya. Saya termasuk Panglima yang berinisiatif membeli Sukhoi. Pada 2003, beli 4 Sukhoi," kata Endriartono di Jakarta, Jumat 18 Mei 2012 malam.

Menurutnya, Sukhoi memang direkomendasikan sebagai pesawat tempur terbaik. "Dan terbukti sampai hari ini kita tidak punya permasalahan sama sekali dengan Sukhoi untuk jenis pesawat tempur," ujarnya.

Kemampuan T-50 PAK FA Rusia Jauh Mengungguli F-22 Raptor




MOSCOW-(IDB) : Jumlah pesawat tempur generasi ke-lima Sukhoi T-50 PAK-FA akan ditambah menjadi 14 unit dari sekarang cuma tiga. Rusia memutuskan menambah jumlah pesawat tempur berteknologi paling canggih di dunia itu untuk uji terbang mendalam.

Panglima Angkatan Udara Rusia, Alexander Zelin, Senin, menurut RIA Novosti, mengatakan, "Sudah terdapat tiga pesawat tempur yang turut dalam uji terbang, tiga lainnya diperkirakan diuji coba dalam waktu dekat. Seluruh jumlah pesawat untuk uji terbang sebanyak 14 unit."

Sukhoi T-50 dikembangkan dalam program PAK FA atau Perspektivny Aviatsionny Kompleks Frontovoy Aviatsii (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) di biro rancang pesawat terbang Sukhoi.

T-50 PAK FA tampil pertama kali kepada masyarakat saat Pameran Kedirgantaraan MAKS-2011 dekat Moskow pada 17 Agustus 2011.

Petempur yang dikembangkan bersama mitra dari India --Hindustan Aeronautics Limited (HAL)-- tersebut melakukan terbang perdananya di Rusia wilayah timur pada awal 2010.

Zelin juga mengatakan T-50 milik Rusia melampaui kemampuan pesawat asal Amerika Serikat dan China. Mampu terbang dalam kecepatan 2,2 kecepatan suara dalam mode stealth adalah kemampuan dasar bagi T-50 PAK FA itu.

Untuk pertempuran jarak dekat, manuver Pugachev atau Cobra seperti yang bisa dilakukan Su-27 atau Su-30 Flanker, sangat mudah dilakukan T-50 PAK FA yang sudah menerapkan sistem navigasi dan manajemen tempur melalui fasilitas helm dan visi di mata pilot.

"Setelah menganalisa perbandingan sifat pesawat dengan asal China kami menyimpulkan T-50 PAK FA melampaui kemampuan pesawat F-22 Raptor milik AS dan pesawat siluman J-20 tersebut dalam hal kecepatan maksimum, jarak terbang, berat maksimal saat lepas landas, dan nilai daya angkut maksimal," tambah Zelin.

Rusia telah mengembangkan petempur generasi kelimanya sejak 1990-an. Sejumlah pejabat tinggi militer Rusia menyebutkan jet tempur siluman itu --jarak terbang hingga 5.500 kilometer pada versi standar tanpa tangki cadangan-- bisa memasuki masa bakti di AU Rusia pada 2015.

Menurut data RIA Novosti, Sukhoi T-50 PAK FA menggunakan mesin ganda Saturn 117S (AL-41F1A) TRDDF turbo jet menggunakan afterburners dengan durasi terbang maksimal selama tiga jam.

Arsenal pesawat tersebut diantaranya telah memodifikasi kanon GSH-301 dengan peluru berdiameter 30 milimeter dengan menambah jumlah putaran letupan dan tenaga dorong.

Selain itu T-50 memiliki 10 cantelan senjata untuk roket dan bom serta bisa di sesuaikan dengan cantelan roket tambahan sehingga kawasan target bisa lebih ditingkatkan.

"Pengoperasian T-50 akan lebih murah 100 juta dolar AS atau 2,5 kali lebih murah dari pengoperasian F-22 Raptor buatan Lockheed Martin dan Boeing," demikian dikutip RIA Novosti.

Rabu, 04 Juli 2012

F-16 FIGHTING FALCON TNI AU



F-16 FIGHTING FALCON TNI AU

Tanggal 12 Desember 1989, roda-roda jet tempur F-16 TNI AU mendarat untuk pertama kalinya di bumi Indonesia. Sejak saat itu kiprahnya sebagai pengawal ruang udara nasional dipertaruhkan.
Program pengadaan F-16 di Indonesia berada dibawah Proyek Bima Sena. Indonesia akuisisi 12 F-16A/B Block 15 OCU Standard dengan harga per pesawat 32 juta dollar AS. Sebagai persiapan, TNI AU mengirim empat penerbang ke Luke AFB guna menjalani program latihan terbang. Mereka terdiri dari Letkol Pnb Wartoyo, Mayor Pnb Basri Sidehabi, Mayor Pnb Rodi Suprasodjo dan Mayor Pnb Eris Heryanto. Keempat perwira mengikuti pendidikan selama enam bulan. Setelah 17 tahun, tercatat 41 penerbang telah memperoleh call sign Dragon, kombatan pilot F-16. Dari 41 pilot, 2 dantaranya telah mencapai 2.000 jam sedang 8 pilot telah menembus angka 1.000 jam satu prestasi bagi pilot TNI AU selama 17 tahun mengoperasikan pesawat F-16 Block-15 OCU (Operational Capability Upgrade).

Tipe       Nomor      Seri   Kedatangan           Keterangan
F-16B   TS-1601       5      Desember 1989           -
F-16B   TS-1602      5       Desember 1989           -
F-16B   TS-1603      5       Mei 1990                     -
F-16B   TS-1604      5       Mei 1990              Spin dan jatuh di Tulungagung 15 Juni 1992, penerbang eject dan selamat
F-16A  TS-1605      5       Desember 1989           -
F-16A  TS-1606      2       Januari 1990                -
F-16A  TS-1607     5        Mei 1990                 Jatuh di ujung runway 24 Lanud Halim 10 Maret 1997, penerbang gugur
F-16A  TS-1608      3       Mei 1990                         -
F-16A  TS-1609    18      September 1990           -
F-16A TS-1610     18      September 1990           -
F-16A TS-1611     18       September 1990          -
F-16A TS-1612    18        September 1990          -
Long Road to Home
Tidak habis pikir kalau saya harus ikut ferry pesawat ini ke Iswahjudi, mengingat waktu keberangkatan dari Indonesia ke Amerika memakan waktu lama. Perjalanan dengan airline sungguh menyenangkan dan dilayani oleh pramugari yang ramah.
Bandingkan dengan perjalanan pulang di dalam kokpit pesawat yang sempit, terikat di kursi lontar sepanjang perjalanan, memelototi instrumen pesawat, setiap kali harus menyocokkan rute dan kalkulasi bahan bakar untuk diisi di udara. Bila pengisian bahan bakar gagal karena berbagai sebab, harus memutuskan terbang ke alternated agar selamat atau terpaksa kampul-kampul di Samudera Pasifik sampai pertolongan datang.
Tidak, aku harus tetap ikut. Selain kebanggaan juga akan menambah pengalaman membawa sendiri pesawat baru ke Tanah Air. Pesawat yang aku pelajari bersama tiga rekan ini harus sampai di negeriku dengan aman.
Tanpa ragu, tuas tenaga kudorong penuh sambil kulirik instrumen mesin. Setelah semua oke, kudorong lagi tuas agar tenaga masuk dalam after burner range. Tersentak aku dibuatnya. Mau tahu fuel consumption saat itu, 20.000 lbs/jam. Berarti pesawat akan melahap 20.000 lbs bahan bakar, setara dengan 10 ton/jam. Aku berpikir sesaat. Andai kata bahan bakar ini aku pakai untuk mobil bututku di Madiun, tentu dapat dipakai selama satu setengah tahun atau pulang ke Solo dari Madiun sebanyak 500 kali. Gila pikirku!
Kegilaan itu bukan seberapa bila dilihat rencana penerbangan dari Forth Word AFB, Dallas ke Lanud Iswahjudi. Jarak sejauh itu akan ditempuh dalam tiga etape. Sangat sulit karena aku belum pernah melakukannya.
Etape pertama dari Fort Word menuju Hickam AFB di Hawai selama delapan jam terbang. Aku rasa etape perama ini masih aman. Kami terbang di atas daratan yang penuh sarana navigasi. Aku pikir pertolongan pasti cepat datang andaikata terjadi sesuatu, apalagi pesawat masih pakai registrasi USAF.
“You are a rich pilot, Rodi.” Terdengan dari intercom pilot AU AS yang ikut ferry bercerita bahwa untuk kegiatan ini mereka mendapat ratusan ribu dollar. Cerita yang hanya aku telan saja, mereka tidak tahu bahwa untuk tugas yang berbahaya ini aku cuma mendapat Rp 500.000 saja sebagai uang lelah.
Pada jam ke dua setelah bertolak, pengisian bahan bakar dimulai dari pesawat KC-135 sebanyak enam kali. Setiap kali diisi 1.500 hingga 3.300 lbs. Pokoknya sisa bahan bakar di pesawat harus dapat mencapai alternate base. Mendarat di Hawai sudah cukup sore. Kami beristirahat selama tiga malam sebelum melanjutkan penerbangan jauh ke Guam. Di Hawai aku sempat menghadiri upacara penyerangan Jepang atas Pearl Harbour yang terjadi 7 Desember 1941. Anehnya dalam acara ini banyak turis Jepang hadir, mungkin mereka terlibat dalam penyerangan ini.
Etape kedua merupakan yang terberat dilihat dari jarak dan medan. Kami akan terbang sembilan jam, tujuh kali pengisian bahan bakar dan tanpa melewati secuil pun daratan. Alternated-nya adalah Pulau Midway, nama yang hanya kukenal dalam sejarah Perang Pasifik.

Kelengkapan emergency over sea meskipun tidak terlihat, aku yakin bahwa satu dingy one man, survival kit berisi desert or sea or jungle food cukup untuk satu minggu. Termasuk alat komunikasi pada frekwensi 121,5 Mz dan 243 Mz serta berbagai kelengkapan yang terbungkus dalam water proof pack. Aku akan terbang pada kecepatan 480 knots dan ketinggian 25.000 kaki untuk menyamakan dengan KC-10 sebagai pesawat tanker yang selalu menyertai.
Setelah istirahat di Guam dua malam, etape terakhir menuju Lanud Iswahjudi dapat dikatakan etape tersenang. Senang karena mau pulang, senang karena sebagian lewat daratan dan senang karena aku duduk di kursi depan, pilot in command.
“Falcon Flight, steady,” suara di heat set yang membawa ketenangan hati. Kata-kata itu bermakna aku harus tetap terbang untuk mendapat tambahan bahan bakar terakhir sebanyak 2.000 lbs tepat di atas Balikpapan. Pelaksanaan refueling untuk pesawat F-16 memakai refueller boom, agak beda dengan sistem A-4 Skyhawk yang memakai probe and drogue. Selama ferry pesawat memperlukan bahan bakar sekitar 3.000 lbs/jam pada kecepatan Mach 0.85. Lain halnya waktu memakai after burner, bahan bakar akan melonjak menjadi 20.000 lbs/jam.
“Selamat datang pak, sampai Madiun cuaca baik kok,” tersentak aku mendengarkan dari suara controller sewaktu masuk ruang udara Indonesia. Bahasa yang sangat kukenal meskipun tidak dalam format calling procedure. Sungguh membuat hati tenteram.
Sapaan tersebut bermakna aku sudah terbang di atas wilayah kedaulatan Indonesia yang kelak harus aku jaga. Sejujurnya aku ingin cepat sampai di Madiun dan mendarat dengan aman untuk kemudian menemui keluarga. Ternyata pesawat harus pass beberapa kali di atas landasan supaya para penggede dan tamu bisa melihat pesawat F-16 Fighting Falcon yang baru datang dari Paman Sam itu.
Kemampuan tangguh
Sejujurnya pesawat F-16 ditempel ketat oleh Mirage 2000 sebelum dipilih TNI AU. Kemampuan lebih dan pengalaman tempur yang dimiliki F-16, menjadi dasar pemilihan. Sebut saja kemampuan tinggal landas dan mendarat pada landasan pendek, pernah dicoba dengan selamat dan aman. Saat itu satu flight F-16 mendarat di Lanud Adi Sutjipto, Yogyakarta dan Lanud Abdul Rahman Saleh, Malang dalam latihan rutin tahun 2001.
Dengan ditenagai mesin Pratt & Whitney F100-PW.229 berdaya 24.000 lbs, pesawat ini mampu melesat pada kecepatan 2.173 km/jam (Mach 2). Selain itu, F-16 mampu menanjak dan berbelok sangat tajam pada rate of turn 19 derajat/detik dengan beban 9G serta mendarat dengan landing roll hanya sejauh 600 m pada kecepatan 155 knot. F-16 milik TNI AU secara khusus dilengkapi drag chute. Sungguh pesawat tempur sangat andal, dengan side control berbasis fly by wire.
Untuk kelanjutan pengabdiannya, TNI AU telah mendadani F-16 dengan program yang disebut Falcon Up. Intinya agar bisa lebih lama lagi dioperasikan, minimal tambah 10 tahun. Program yang dapat diselesaikan selama dua tahun untuk sepuluh pesawat ini, menjadi prestasi tersendiri
tatkala pelaksananya Skatek 042 Lanud Iswahjudi. Dengan enam tenaga asing yang bertindak sebagai supervisi, proyek selesai tepat waktu. Untuk test pilot ditangani penerbang kita. Biasanya program Falcon Up dipercayakan kepada Lockheed Martin. Namun dengan kemandirian yang prima, ternyata aturan itu tidak berlaku di Indonesia.
Upaya mempercantik pesawat juga pernah dilakukan. Utamanya mengubah warna dari Triple Spot Grey (1989) menjadi Falcon Colors (1996). Era milennium diubah lagi menjadi Millennium Color Scheme (2000), termasuk menambah pernik nose number dan tail flash.
Tidak selamanya pengabdian itu berjalan mulus. Selama 17 tahun itu juga ada pengorbanan. Dua pesawat telah jatuh sewaktu latihan rutin. Pertama di Tulungagung dan kedua di Halim. Kejadian terakhir menewaskan Kapten Pnb Dwi Sasongko.






Sejumlah insiden minor juga mewarnai perjalanan pesawat seharga 32 juta dollar AS. Mengacu jenisnya (jet tempur), mestinya F-16 masuk Skadron Udara 16 (baru). Aturan dalam sistem penomoran skadron di TNI AU, kavling angka 11 hingga 19 diberikan kepada jet tempur (kecuali angka keramat 17 untuk Skadron VIP). Faktor sejarah dan kebanggaan memaksa F-16 dijadikan Skadron Udara 3 dengan menggeser OV-10 menjadi flight OV-10 sebelum menjadi Skadron Udara 1. Di Skadron Udara 1 pun, OV-10 tidak bertahan lama sebelum terpaksa menjadi Unit OV-10. Baru nanti tahun 2002, OV-10 menetap di Skadron Udara 21 sesuai kavling peruntukannya sebagai pembom. Skadron ini dulu dihuni pembom taktis Ilyusin 28.
Memang F-16 diperlakukan sangat istimewa. Selain menghuni Skadron Udara 3, kehadirannya juga menggeser hangar yang dihuni A-4 Skyhawk. Sebelum kedatangan sang Falcon, Skyhawk asal Skadron Udara 11 terpaksa hengkang ke Makassar dalam operasi Boyong-2 (1988). Operasi Boyong-1 adalah pemindahan Skadron Udara 12 (A-4) ke Pekanbaru tahun 1984.
Roda memang terus berputar. Tidak selamanya sesuatu berada di atas begitu pula sebaliknya. Akhir 1990-an embargo militer melanda Indonesia. Kesiapan pesawat kian menurun akibat dukungan logistiknya yang terhenti tiba-tiba. Ironisnya, tuntutan tugas terhadap F-16 yang bersarang di Skadron Udara 3, Lanud Iswahjudi malah meningkat. Meskipun dengan tertatih-tatih, tugas negara yang mulia tetap dipikul dengan penuh kebanggaan.
Terbukti pada Juni 2000, di atas Pulau Gundul, Kepulauan Karimunjawa, untuk pertama kalinya F-16 Indonesia berhasil menembakkan dua rudal udara ke darat AGM-65 Maverick tepat mengenai sasaran. Peristiwa ini menjawab keraguan sebagian masyarakat Indonesia terhadap kemampuan dan persenjataan TNI AU saat itu. Jawaban berikutnya dipertegas dengan berhasilnya penembakkan rudal udara ke udara AIM-9P4 Sidewinder di atas training area Lanud Iswahjudi, Oktober 2006.

Intersep pesawat asing

Dalam melaksanakan Operasi Pertahanan Udara Indonesia, F-16 selalu hadir untuk mencegah campur tangan pihak asing yang menggunakan wahana udara Indonesia. Identifikasi pesawat tempur asing di atas Pulau Bawean, bukti bahwa Indonesia negara berdaulat yang tidak bisa diperlakukan seenaknya. Tidak hanya berhenti di situ, F-16 juga sering terdadak untuk mencegat pesawat asing yang “melenceng” keluar jalur dan mendekati wilayah kedaulatan Indonesia. Baik disengaja atau tidak, pesawat asing apapun yang melanggar wilayah kedaulatan udara Indonesia telah menjadi tugas F-16 untuk menyergap dan mengusirnya. Masih beberapa kasus pencegatan lagi dilakukan F-16. Karena bukan konsumsi publik, peristiwa ini hanya terekam dalam dokumentasi skadron dengan klasifikasi rahasia.
Krisis perbatasan pun tidak lepas dari peran F-16. Operasi Penghadiran di Blok Ambalat menunjukkan bahwa Indonesia sangat serius mempertahankan setiap jengkal wilayah dan kedaulatannya.
Di pengujung 2006 lalu, tidak terasa F-16 telah cukup lama menjaga ruang udara Indonesia. Rentang waktu 17 tahun bukan hitungan masa yang singkat, tetapi cukup menjadi bukti loyalitasnya kepada negara. Peran-peran yang telah dilakukan F-16 menjadi cerita tersendiri tidak hanya bagi para pilot yang pernah mengawakinya, tapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan

Jet Tempur Sukhoi Bisa Didatangkan Desember Ini



Sukhoi Su-30 MK2
Rusia dua minggu yang lalu secara resmi telah menolak permohonan Indonesia agar skema pembayaran pembelian 6 Sukhoi ini menggunakan fasilitas state credit, dengan penolakan ini maka Indonesia harus mencari kredit komersial untuk pembiayaannya. (photo : TNI AU)

Pengiriman dua dari enam unit Su-30 Mk2 itu bisa dilakukan bila kontrak pembelian tersebut bisa segera disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia.

Perwakilan JSC Rosoboronexport atau pengekspor alat militer dari Rusia yang ada di Indonesia mengutarakan mereka siap melakukan pengiriman jet tempur Sukhoi Su-30 Mk2 ke Indonesia, Desember nanti.

Pengiriman dua dari enam unit Su-30 Mk2 itu bisa dilakukan bila kontrak pembelian tersebut bisa segera disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia.

“Bila kontrak itu disetujui dan bisa langsung berlaku bulan Mei ini, maka kami bisa mengirim dua pesawat pertama pada bulan Desember sesuai jadwal yang ada di kontrak,” kata Kepala Perwakilan Rosoboronexport di Indonesia, Vadim Varaksin.

Hal tersebut diutarakan Varaksin usai penandatangan kontrak pembelian 37 tank amfibi buatan Rusia, BMP-3F Seri 2, di Kementerian Pertahanan, hari ini.

Varaksin mengatakan, pihak Rusia telah melakukan semua prosedur internal yang tertuang dalam kontrak pengadaan pesawat jet tempur Sukhoi Su-30 Mk2 pesanan Indonesia. Kontrak tersebut ditandatangani oleh perwakilan kedua negara pada Desember 2011.

Kontrak senilai 470 juta dollar Amerika tersebut tinggal menunggu persetujuan DPR sehingga bisa segera mulai berlaku bulan ini.

Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan, Mayjen TNI Ediwan Prabowo, yang mewakili pemerintah Indonesia dalam penandatanganan kontrak pembelian tank amfibi, mengatakan bahwa pembelian pesawat tempur jet Sukhoi tetap menggunakan fasilitas kredit komersial.

Ediwan menambahkan bahwa penggunaan fasilitas kredit komersial untuk pembelian Sukhoi tetap digunakan karena perjanjian antara pemerintah kedua negara tidak menyatakan bahwa pembelian jet tempur Sukhoi didukung oleh kredit negara atau state credit pemerintah  Rusia.

“Kita sudah coba ajukan permohonan, bisa atau tidak pakai state credit, dan sudah dijawab kira-kira dua minggu lalu, memang tidak bisa,” ujar Ediwan.

Mengenai proses pembayarannya, Ediwan mengatakan bahwa masih harus melalui beberapa mekanisme yang cukup panjang.

“Masih ada beberapa mekanisme di Kementerian Keuangan, kita inginnya cepat, tapi juga perlu persetujuan DPR. Kalau saya ingin secepatnya agar barang-barang bisa produksi dan dikirim ke Indonesia pada waktunya,” papar Ediwan.

Hawk 209 dalam berbagai varian warna



Hawk 209 dalam berbagai varian warna

  Sebuah gambar kepala Panther hitam menempel garang di badan pesawat tempur Hawk 200.Mulutnya mengaum garang,berlatar belakang sebuah gambar kilat yang menyala tajam.

Warna abu-abu langit,juga semakin membuat kepala Panther ini hidup,dan siap menerjang. Angka 12 tersebut merupakan penanda burung besi mematikan buatan Inggris tersebut berangkat dari Skuadron Udara 12, Pangkalan Udara (Lanud) TNI AU Pekanbaru.Hampir di ujung moncong pesawat juga tertulis angka 09. Nomor ini merupakan tanda nomor pesawat di skuadron tersebut.

Burung besi ini nampak mengkilat,dengan motif loreng perpaduan abu-abu muda dan abu-abu tua.Tampangnya garang.Siap menerjang angkasa. Menembus langit biru nusantara.Menggeliat cerdik di antara awan-awan putih, menghunus pusaka menerjang setiap lawan yang mengancam. Warna loreng abu-abu ini baru saja selesai digarap oleh para putra terbaik TNI AU yang tergabung di dalam Satuan Pemeliharaan (Sathar) 32,Depo Pemeliharaan 30, Lanud TNI AU Abdulrachman Saleh,Malang.

Bukan ahli dari Inggris, atau Amerika Serikat,yang membuat burung besi menjadi garang,segarang Panther. Putra-putra terbaik bangsa,yang bernaung di Sathar 32,mampu mandiri membuat Panther Skuadron Udara 12 mengaum di langit nusantara. Hanya berjarak beberapa langkah di depan Panther Skuadron Udara 12,tampak logo kepala Jonga atau Kijang, mulai sumringah.Jonga yang terpampang di badang Hawk 200 milik Skuadron Udara 1 Pontianak tersebut,juga akan menjalani masa-masa pergantian warna di Sathar 32.

Saat ini,Jonga lambang kelincahan, kecerdikan,dan kecepatan ini,masih menggunakan warna lama.Loreng hijau tua,dipadu hijau muda,dan cokelat,masih menempel lekat.Sebentar lagi,tangan tangan terampil putra-putra terbaik yang tergabung di Sathar 32,akan memanjakannya dengan warna baru,loreng abu-abu.“Warna loreng abuabu, menjadi warna kamuflase resmi para pesawat tempur TNI AU,”ujar Pembantu Letnan Dua (Pelda) Lagiono. Prajurit TNI AU,yang sudah mengabdikan diri sejak tahun 1986 tersebut,menjadi salah satu bintara senior di Sathar 32.Perannya,khusus dalam hal menangani pengecatan pesawat TNI AU.Banyak pesawat tempur sudah ditanganinya, termasuk pesawat tempur F-16.



Dari tangan telaten para prajurit tersebut,saat ini sudah ada delapan unit pesawat tempur jenis Hawk yang sudah berganti kamuflase loreng abu-abu.Lagiono menyebutkan, pesawat jenis Hawk yang sudah selesai dicat dan diperbaiki, ada di Skuadron Udara 1 sebanyak lima unit,dan di Skuadron Udara 12 sebanyak tiga unit.“Pengerjaannya dilakukan di Malang.Ada juga yang kami kerjakan di skuadronnya masing-masing,” ujarnya begitu ramah. Butuh sedikitnya 7-8 galon cat,atau sekitar 28-32 liter cat untuk mengecat satu unit pesawat. Pengerjaannya dilakukan selama 1-2 minggu.

Prosesnya dimulai dari pembersihan cat lama,perbaikan,kemudian pengecatan dengan cat baru. Kualitas hasil pengecatan, tidak bisa diremehkan.Karya anak negeri ini,sudah terbukti memiliki kualitas tinggi. Salah satu buktinya,pengecatan yang dilakukan terhadap pesawat tempur taktis F- 16,sudah berusia 10 tahun,namun belum menunjukkan kerusakan.“ Kualitas kami utamakan. Selain itu,kerja seni juga menjadi bagian dari pencetan pesawat ini.Hingga membuat pesawat tampil garang, menawan,dan memiliki kualitas bagus,”ujar Lagiono.

Bukan sekadar kamuflase warna di badannya saja yang diganti dan dibersihkan.Kemampuan avionik,dan listrik instrumen pesawat,juga turut dibenahi dan dijaga di Sathar 32.Alhasil,pesawat temput taktis ini tidak hanya garang di luar,namun kegarangan mesinnya layak diacungi jempol. Kepala unit avionik dan listrik instrumen (Aviolinst) Sathar 32,Letnan Satu (Lettu) Elektronik (Lek),Andhi Setyo menyatakan,setiap pesawat tempur yang masuk perawatan di Sathar 32,akan dicek kondisi keseluruhannya.

“Satu incipun tidak boleh luput dari pengecekan, karena kondisi pesawat yang prima akan sangat mendukung kegiatan operasi yang dijalankan,”tegasnya. Secara keseluruhan,ada tiga tahap yang harus dilaksanakan dalam pengecatan dan perbaikan pesawat tempur ini. Tahapan itu,menurut kontrol kualitas Sathar 32,Pembantu Letnan Satu (Peltu),Haryanto, antara lain tahap predock; in dock; dan post dock. Tahap pre dockmeliputi penerimaan pesawat dari skuadron yang mengoperasionalkan. Kemudian dilanjutkan dengan tes seluruh sistem pesawat, termasuk uji fungsi dan performance engine pesawat.



Tahap in dock,berupa pembongkaran, pemeriksaan,perbaikan, dan pengetesan.“Dalam tahap terakhir,atau post dock,akan dilakukan penimbangan, pengecekan terakhir, dan tes terbang,”terangnya. Pengalaman dan prestasi pengecatan pesawat,serta perbaikannya ini,sudah berjalan sangat lama.Menurut Komandan Depo Pemeliharaan 30 Lanud TNI AU Abdulrachman Saleh Malang,Kolonel Dento Priyono,pada tahun 2012 ini,jadwal pengecatan sangat padat. Setelah menyelesaikan pengecatan sebanyak enam pesawat F 16,dilanjutkan pengecatan delapan unit Hawk 100,dan Hawk 200.

“Selain itu,masih menyelesaikan pengecatan pesawat angkut Cassa A 2103,dan Cassa A 2017,”ujarnya. Setiap pengecatan,dan perbaikan pesawat ini,dilaksanakan oleh tim kecil yang beranggotakan 8-10 orang personel.Mereka terdiri dari satu orang perwira,anggota, dan kontrol kualitas.Depo Pemeliharan sendiri,membawahi tiga satuan yakni Sathar 31; Sathar 32; dan Sathar 33. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini.Setiap personel Sathar,memiliki ketelitian, kemampuan,dan jiwa seni untuk memperbaiki pesawat tempur.

Selasa, 03 Juli 2012

Sampai akhir tahun 2012 diproyeksikan 8 pesawat Super Tucano dapat diserahkan kepada TNI AU




Sampai akhir tahun 2012 diproyeksikan 8 pesawat Super Tucano dapat diserahkan kepada TNI AU

 Skadron Udara 21 Lanud Abdurrachman Saleh di Kabupaten Malang, Jawa Timur, menanti kedatangan empat unit pesawat tempur Super Tucano EMB-314 buatan Brazil yang direncanakan tiba pada 28 Agustus 2012.

"Direncanakan pesawat Super Tucano dari Brasil tiba pada tanggal 28 Agustus 2012, namun apabila ada penundaan mungkin di awal September," kata Kepala Seksi Pemeliharaan Skadron Udara 21 Lanud Abdurachman Saleh, Mayor (Tek) Anton Firmansyah, di Malang, Rabu.

Kedatangan empat unit pesawat tempur Super Tucano EMB-314, kata Anton, untuk memperkuat Skadron Udara 21 dan tentunya bagi seluruh jajaran TNI-AU dalam menjaga kesatuan wilayah Indonesia.

"Untuk yang pertama akan datang empat unit pesawat, dan hingga akhir tahun 2012 direncanakan delapan pesawat Super Tucano tiba di Lanud Abdurrachman Saleh," tambah Anton.

Pesawat tersebut, lanjut Anton, merupakan pesawat tempur taktis yang mampu melaksanakan operasi bantuan tembakan dari udara yang merupakan keunggulan pesawat itu. Dengan rencana itu, Anton menambahkan, TNI-AU juga telah mempersiapkan pilot-pilot terbaik untuk dikirimkan ke Sao Paulo, Brazil.

"Ada 12 orang pilot yang akan dikirim ke Brazil. Saat ini mereka telah ada di Jakarta untuk mendapatkan bimbingan, dan direncanakan pada bulan Juni akan berangkat ke Sao Paulo, Brazil, untuk menyelesaikan pelatihan," kata Anton.

Pesawat tersebut, lanjut Anton, juga telah dipergunakan oleh beberapa negara lain dan merupakan pesawat produksi baru. "Kami telah menyiapkan 'shelter' baru dan saat ini juga sedang dilakukan penyelesaian pembangunan tempat simulator," kata Anton.

Pesawat Super Tucano EMB-314 memiliki mesin tunggal buatan Empresa Braziliera de Aeronautica (Embraer), dan memiliki kemampuan menembakkan asap ke darat secara cepat untuk menunjukkan posisi musuh.

Kedatangan pesawat tempur itu akan menggantikan posisi pesawat tempur Oviten-10F Bronco yang sudah tidak akan dioperasikan. OV-10 Bronco telah berjasa di berbagai operasi, antara lain Operasi Seroja (1976-1979) di NTT, Operasi Tumpas (1977-1978) di Irian Jaya, dan Operasi Halilintar (1978) di Riau.

IRONIS, 30 TAHUN RUDAL TNI AU HANYA BERTUMPU PADA SIDEWINDER


IRONIS, 30 TAHUN RUDAL TNI AU HANYA BERTUMPU PADA SIDEWINDER

F-16 Skadron 3 TNI AU dengan rudal AIM-9 P4 Sidewinder
Bila dicermati, sudah tiga dekade lebih sistem senjata pada pesawat tempur TNI AU bertumpu pada rudal Sidewinder. Semenjak hadirnya F-5 E/F Tiger II pada awal tahun 80-an, hingga kini TNI AU hanya menyandarkan pada kemampuan Sidewinder sebagai rudal udara ke udara. Versi Sidewinder tercanggih yang dimiliki TNI AU adalah AIM-9 P4 yang bisa menghantam target dari beragam sudut. AIM-9 P4 dipasang oleh TNI AU pada pesawat F-16 dan Hawk 100/200.
Dari analisa kekuatan di kawasan regional Asia Tenggara, AIM-9 P4 boleh jadi masih cukup mumpuni untuk eskalasi pertempuran terbatas. Tapi harus diperhitungkan bila yang dihadapi misalnya Australia atau Singapura, yang mempunyai rudal udara ke udara kelas menengah, seperti Sparrow dan AMRAAM, yang masing-masing punya jangkauan tembak 70 Km dan 110 Km. Perlu dicatat, Sidewinder adalah rudal pengejar panas untuk target jarak dekat, dan terkenal afdol dalam dog fight.
Sedangkan belajar dari perang Teluk, konsep pertempuran udara sudah bergeser, berkat kecanggihan sistem deteksi radar pada pesawat, serta dukungan rudal jarak menengah/jauh, target bisa dihajar pada posisi lintas cakrawala, alias antar pilot pun tak mengetahui sosok pesawat lawan secara langsung. Inilah yang harus dipertimbangkan secara cermat, semoga saja generasi Sukhoi Su-27/Su-30 TNI AU nantinya akan dilengkapi rudal yang setara dengan AIM-7 Sparrow atau AIM-120 AMRAAM. Hal ini penting untuk dicatat dan didengar oleh parlemen di DPR RI, mengingat Singapura dan Malaysia sudah membekali jet tempurnya dengan rudal Sparrow  dan AMRAAM.

Sukhoi Su-27 Skadron 11 TNI AU, kita berharap agar jet tempur ini segera dilengkapi dengan rudal yang mumpuni.
Mungkin karena alasan politis yang bertele-tele dan anggaran yang ngepas, tak usahlah melirik rudal buatan AS, sebagai opsi TNI AU bisa membeli Vympel R-77/R-27, rudal jarak menengah berjangkauan 80 – 175 Km yang dirancang sebagai persenjataan untuk Sukhoi. Kita semua yakin, kemampuan pilot tempur TNI AU tak kalah cakap dengan pilot dari Negeri Jiran, namun terlepas dari olah ketrampilan tempur di udara, semuanya akan jadi sia-sia bila arsenal persenjataan yang melengkapi jet tempur TNI AU tidak disesuaikan dengan kondisi tantangan yang ada di kawasan ini

Insiden Bawean




Tanggal 3 Juli 2003, kawasan udara di atas Pulau Bawean sontak memanas ketika lima pesawat asing yang kemudian diketahui sebagai pesawat F/A-18 Hornet terdeteksi radar TNI AU.

Dari pantauan radar kelima Hornet terbang cukup lama, lebih dari satu jam dengan manuver sedang latihan tempur. Untuk sememntara Kosek II Hanudnas (Komando Sektor II Pertahanan Udara Nasional) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) belum melakukan tindakan identifikasi dengan cara mengirimkan pesawat tempur karena kelima Hornet kemudian menghilang dari layar radar.



USS Carl Vinson
Sekitar dua jam kemudian, Radar Kosek II kembali menangkap manuver Hornet. Karena itu panglima Konanudnas menurunkan perintah untuk segera melakukan identifikasi. Apalagi manuver mereka mengganggu lalu lintas penerbangan komersial yang menggunakan jalur tersebut dan terlihat visual oleh awak kokpit pesawat Boeing 737-200 Bouraq yang tengah menuju Surabaya serta sama sekali tak ada komunikasi dengan ATC terdekat.Dalam aturan internasional, jalur penerbangan komersial tidak boleh dipakai untuk manuver provokatif, apalagi sampai membahayakan pesawat lain. Pesawat apa pun yang menggunakan jalur ini harus melapor ke menara, dalam hal ini ke menara Bandar Udara Juanda (Surabaya Director). Laporan tersebut berkaitan erat dengan keselamatan penerbangan yang dituangkan dalam peraturan internasional ICAO (International Civil Aviation Organisation).

Pangkalan Udara Iswahjudi yang hanya terletak sekitar 20 menit penerbangan diperintahkan Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II Marsekal Muda Teddy Sumarno untuk mengirim pesawat F-16 ke lokasi, antara lain karena ada keluhan dari pesawat Bouraq Indonesia Airlines dan Mandala Airlines yang merasa terganggu atas manuver (latihan) yang dilakukan oleh sedikitnya lima Hornet. Jet tempur tersebut berasal dari kapal induk bertenaga nuklir, USS Carl Vinson, yakni super-carrier kelas Nimitz yang sedang berlayar dari arah barat ke timur bersama dua fregat dan sebuah kapal perusak Angkatan Laut AS. Kapal induk kelas Nimitz mengangkut 100 pesawat tempur, 16 pesawat pengintai, dan enam helikopter, diawaki oleh 3.184 kelasi dan perwira, 2.800 pilot dan awak pendukungnya, serta 70 personel lainnya. Kapal induk ini juga memiliki kemampuan melakukan perang elektronika.
Dua pesawat tempur buru sergap F-16 B Fighting Falcon TNI-AU yang masing-masing diawaki Kapten Pnb. Ian Fuadi / Kapten Fajar Adrianto dan Kapten Pnb. Tony Heryanto / Kapten Pnb. Satrio Utomo segera disiapkan.
Misi kedua F-16 itu sangat jelas yaitu melakukan identifikasi visual dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang merupakan yang utama.
Selain itu, para penerbang diminta agar tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam. Namun demikian, untuk menghadapi hal yang terduga kedua F-16 masing-masing dua rudal AIM-9 P4 Sidewinder dan 450 butir amunisi kanon kaliber 20 mm.

F/A 18 Hornet
Menjelang petang, Falcon Flight F-16 melesat ke udara dan tak lama kemudian kehadiran mereka langsung disambut dua pesawat Hornet. Kedua pesawat Hornet yang menghadang dua F-16 TNI AU melancarkan aksi jamming radar pesawat IAF. Namun, para penerbang F-16 mampu mengatasi perang ECM (Electronic Counter Measure) yang dilancarkan Hornet. Kedua F-16 mengatasinya dengan menghidupkan perangkat anti-jamming kemudian memasang alatnya pada moda otomatis sehingga usaha untuk menutup “mata” F-16 tidak berhasil dilakukan Hornet. Sudah dapat dipastikan, jamming yang dilakukan terhadap kedua F-16 Indonesia tidak dilakukan USS Vinson maupun kapal perusak US Navy. “Kalau mereka yang melakukan, di layar akan keluar kata ’unknown’,” kata Komandan Skadron 3 Letkol Tatang Herliansyah yang diapit oleh keempat penerbang F-16 yang melaksanakan tugas identifikasi tersebut.
Kedua F-16 dalam kecepatan tinggi, sekitar 800 km per jam, masih tetap bisa melihat dengan baik posisi kedua pesawat Hornet. Bahkan, sejumlah Hornet lain yang dikirim oleh kapal induknya juga termonitor pada layar radar F-16. Tidak hanya itu, F-16 bila ingin dapat pula melepas rudal Sidewinder-nya ke sasaran Hornet.
“Menegangkan sekali. Mereka sudah lock (kunci) pesawat kami, tinggal menembak saja. Itu dapat dilihat pada layar (display) ada tanda bahwa kami sudah di-lock,” ujar Kapten Ian Fuady, yang bersama Kapten Fajar mengawaki F-16 dengan call-sign Falcon 1 dalam paparannya di hadapan rombongan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim, di Pangkalan Udara Iswahjudi, Madiun, hari Sabtu (5/7).
Guna menghindari dari peluru kendali yang bakal dilepas Hornet, awak F-16 melakukan beberapa manuver penghindar, antara lain hard break ke kiri dan ke kanan atau zig-zagging yang awaknya sampai terkena efek 9g atau sembilan kali gravitasi tarikan Bumi. Manuver ini adalah gerakan yang bisa melepaskan diri dari lock peluru kendali.
“Namun, selama itu posisi kami (Falcon 1 maupun Falcon 2) berada pada posisi menguntungkan, bisa pula (kalau mau) menembak mereka,” tambahnya. Namun karena tugas kedua F-16 adalah misi identifikasi, mereka tidak menunjukkan sikap bermusuhan terhadap kedua F/A 18 Hornet.
Sikap bermusuhan kedua Hornet memudar setelah Kapten Tonny dan Kapten Satriyo melakukan manuver rocking the wing (menggerak-gerakan sayap) F-16 bernomor ekor TS-1602, isyarat internasional bahwa pesawat F-16 bernomor ekor TS-1603 yang diawaki Kapten Ian dan Kapten Fajar tidak mengancam.
Sekitar satu menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua Hornet yang mencegat mereka. Dari komunikasi singkat itu akhirnya diketahui bahwa mereka mengklaim sedang terbang di wilayah perairan internasional. “We are F-18 Hornets from US Navy Fleet, our position on International Water, stay away from our warship”.
“PADA layar (monitor) lampu menyala dan (diiringi) bunyi tit… tit… tit… tit… tit…, mereka sudah mengunci rudal ke pesawat kami,” papar Kapten Pnb Fajar Adriyanto, bersama Kapten Pnb Ian Fuady yang mengawaki F-16 berekor nomor TS-1603 dengan call- sign Falcon 1. Itu tandanya bahwa peluru kendali Sidewinder yang dibawa Hornet sudah siap ditembakkan ke arah Falcon 1.
“Jika bunyi tit-nya panjang seperti tiiiiiiit…. tiiiiiit…., berarti rudal sudah ditembakkan,” ujar Kapten Fajar menambah keterangannya di hadapan KSAU Marsekal Chappy Hakim serta stafnya dan para wartawan. Marsekal Chappy Hakim datang ke Madiun untuk memberi apresiasi kepada mereka yang terlibat dalam tugas intersepsi pesawat Hornet di sekitar Bawean.
Dari hasil rekaman ulang perang elektronika kokpit Falcon 2 F-16 berekor nomor TS-1602 yang diawaki Kapten Pnb Tonny H dan Kapten Pnb Satriyo Utomo, jelas terlihat pesawat Falcon 1 yang sempat juga melakukan gerakan hard break belok dengan kemiringan hampir 90 derajat, secara ketat terus ditempel oleh Hornet 1. Sementara, Hornet kedua menguntit rekannya. Posisi Falcon 2 juga menguntungkan terhadap Hornet 2 sehingga bila suasana bermusuhan menjadi kenyataan, pasangan Kapten Tonny-Kapten Satriyo dapat membantu Falcon 1.
Saat menghindar dari rudal Sidewinder yang bakal ditembakkan setiap detik kepada mereka dengan membelokkan tajam F-16 mereka, mata Kapten Fajar masih sempat melihat kapal perusak US Navy dan langsung melaporkan penglihatannya itu.
“Kami memang sempat close fight dengan mereka, tetapi kita tidak melaksanakan ofensif. Kami mempunyai tugas dari panglima untuk melaksanakan intersepsi guna mencari data pesawat apa jenisnya, kemudian dari negara mana, apa tujuan mereka melaksanakan latihan,” ujar Letkol Tatang Herliansyah.
Menurut para penerbang F-16, kontak visual mereka dengan Hornet terjadi pada ketinggian 15.000 kaki setelah terbang sekitar 10 menit. Pada jarak di bawah 40 mil laut, radar F-16 mereka sudah menangkap target F-18 sehingga kedua pesawat TNI AU langsung menuju ke sasaran terdekat dibantu oleh Surabaya Director. Mereka mendapat informasi ada dua sasaran, jadi pesawat F-18 yang mereka tuju ada lebih dari dua pesawat. Begitu berhadapan, Hornet langsung melancarkan aksi jamming dengan sikap bermusuhan yang ditunjukkan dengan mengunci rudal Sidewinder ke pesawat F-16.
Menurut Letkol Tatang, perang jamming berlangsung sekitar tiga menit karena kedua penerbang F-18 tahu kalau F-16 memancarkan gelombang elektromagnetik dari radar F-16, pesawat Hornet juga menangkapnya. Demikian pula sebaliknya, pada saat pesawat AS memancarkan gelombang yang sama terhadap Fighting Falcon TNI AU, gelombang pesawat AS juga ditangkap radar warning receiver F-16.
“Begitu menangkap jamming mereka, kita pakai anti-jamming yang juga memancarkan beberapa bands (gelombang) dari frekuensi radar F-16. Dengan memakai auto, walaupun mereka berganti-ganti bands, kita bisa mengikuti terus (mereka),” ungkapnya mengenai perang seru ECM F-16 Fighting Falcon versus F-18 Hornet di atas Bawean.
Selama perang ECM, radar warning receiver F-16 tetap mendapatkan sinyal bahwa ada yang mengunci kedua pesawat TNI AU. Ini berarti kemungkinan ada lebih dari satu Hornet lain pada posisi lain yang terus-menerus mengikuti “perang seru” tiga menit antarkeempat pesawat F-16 dan F-18.
Untuk melepaskan diri dari penguncian tersebut, jet tempur F-16 buatan General Dynamics melakukan manuver hard break yang disebut tadi dalam kecepatan tinggi. Manuver ini juga dikenal dengan sebutan defensive manouver, di mana penerbangnya akan terkena gravitasi minimal 6g sampai 9g.
Perang tiga menit, seperti dituturkan oleh Kapten Ian Fuady, berhenti setelah F-16 yang diawaki Kapten Tonny-Kapten Satriyo melakukan gerakan rocking the wing. “Hornet, Hornet, we are Indonesian Air Force…,” terdengar suara Ian dalam rekaman radar ulangan yang ditayangkan gambarnya di Lanud Iswahjudi.
“Indonesian Air Force… we are in international waters, please stay away from our ships…,” terdengar jawaban dari salah satu pilot F/A 18 Hornet. Penerbang F-16 menjawab bahwa kedua Fighting Falcon sedang melakukan patroli dan akan menjauh dari iringan konvoi kapal perang Angkatan Laut AS.
Usai kontak Hornet AS itu terbang menjauh sedang kedua F-16 TNI-AU return to base, kembali ke pangkalannya Lanud Iswahjudi Madiun. Selain berhasil bertemu dengan Hornet, kedua F-16 TNI-AU juga melihat sebuah kapal perang Fregat yang sedang berlayar ke arah timur.
Setelah kedua F-16 mendarat selamat di pangkalan TNI-AU menerima laporan dari MCC Rai (ATC Bali) bahwa fligh Hornet merupakan bagian dari armada US Navy.
Namun yang paling penting dan merupakan tolak ukur suksesnya tugas F-16, Hornet AL AS itu baru saja mengontak MCC RAI dan melaporkan kegiatannya.
Di markas Makassar-nya, Marsekal Muda Teddy Sumarno terus mengikuti jalan operasi identifikasi kedua F-16 yang diperintahkan menuju lokasi Bawean. “Kami memperkirakan, konvoi kapal-kapal AS dengan kecepatan 20 knot akan sampai di sekitar Pulau Madura dan Kangean 12 jam kemudian. Tepat seperti dugaan Jumat 4 Juli pagi kemarin, kami kirim pesawat intai Boeing 737 Surveiller ke daerah itu dan benar pada pukul tujuh pagi pesawat pengintai menjumpai iringan kapal induk, sebuah kapal perusak dan dua kapal fregat menuju ke Selat Lombok,” ungkapnya.
F-16 Fighting Falcon, King Of Battle

Menurut Marsma Teddy Sumarno, ketika Boeing 737 menanyakan dari mana dan ke mana tujuan mereka, hanya mendapat jawaban: “We are in international waters….” Dalam pengintai ini, Boeing 737 TNI AU sempat memotret kapal induk USS Carl Vinson, kedua fregat, dan kapal perusak AS yang dikawal pesawat-pesawat Hornet tersebut. Selama operasi pengintaian itu pesawat surveillance B737 terus dibayangi dua F/A 18 Hornet AL AS. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan “keberatan” secara diplomatik terhadap pemerintah AS.
Namun, data dari mana dan akan ke mana iringan konvoi kapal-kapal Angkatan Laut AS sampai Sabtu (5/7) masih belum jelas. Ada dugaan, kapal-kapal itu datang dari utara lalu belok masuk ke ALKI 1 kemudian selama beberapa jam di barat laut Pulau Bawean melakukan latihan. Analisis lain, konvoi datang dari Selat Malaka atau Selat Sunda. Diperkirakan, setelah melewati Selat Lombok, kemungkinan konvoi tersebut meneruskan pelayarannya ke Australia atau langsung ke Samudera Pasifik.
Yang jelas, konvoi kapal induk bertenaga nuklir USS Carl Vinson menorehkan insiden Bawean sewaktu melintas di Laut Jawa. Ia memberi latihan berharga kepada penerbang F-16 TNI AU bahwa latihan sesungguhnya perang elektronika bisa menimbulkan korban di kedua belah pihak.

Kasih...

Kasih...
Kedamaian yang slalu kuimpikan
Resah dan gelisah slalu membayang
Seakan tiada ketenangan jiwa...

Kasih..............
Percikkan cahaya kasihmu
'Ntuk menerangi setiap langkahku
'Ntuk menggapai cita...
Yang Terpendam dalam sanubari
Kasih...................................
Ku percaya semua kan jadi nyata
Kenikmatan yang menghiasi suasana
Bahagia...! 'Ntuk bersama
Ku bersamamu...................




For: someone

Sukhoi Su-27/30 Jagoan Dogfight Dari Makassar




Su-27 dan Su-30 Flanker
Sekitar sepuluh tahun silam, satu delegasi Indonesia yang dipimpin Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita mendarat di Moscow, ibukota Rusia. Tujuan mereka cuma satu, menyambangi pusat produksi jet tempur milik Rusia, khususnya pabrik Mikoyan-Gurevich yang memproduksi jet-jet tempur MiG dan Sukhoi OKB, yang melahirkan pesawat-pesawat perang berinisial Su.
Ginanjar yang pensiunan jenderal bintang tiga (Marsekal Madya) TNI-AU, mengemban tugas dari Presiden Soeharto, memilih jet tempur terbaik untuk memperkuat jajaran angkatan udara Indonesia. Maklum, pesawat tempur TNI-AU yang ada sudah banyak yang usang, seperti A4-SkyHawk, OV-10 Bronco. Sementara pesawat yang relatif modern semacam F-16 Fighting Falcon dan F-5E Tiger sebagian besar harus ngendon di darat gara-gara embargo senjata yang diberlakukan Amerika.
Ketika itu pemerintah AS memang memberlakukan embargo senjata kepada Indonesia, yang dianggap kurang memperhatikan HAM dan proses demokrasi. Makanya, rencana awal membeli sejumlah F-16 terpaksa batal, karena senat AS tak memberi ijin. Jangankan membeli pesawat baru, pasokan suku cadang pun dihentikan. Itu yang membuat jet-jet buatan Amerika itu tak bisa terbang.


Kokpit Flanker
Karena desakan kebutuhan, maka Indonesia mencari alternatif lain. Salah satunya adalah Rusia. Negeri yang dahulu bernama Uni Soviet ini juga punya banyak stok pesawat tempur mutakhir, tak kalah dengan produk blok barat. Karena memang diciptakan untuk menandingi peralatan perang NATO, dalam konteks lomba senjata di era perang dingin.
Setelah timbang sana timbang sini, pilihan dijatuhkan pada Su-27, pesawat tempur multi guna mutakhir yang menjadi andalan angkatan udara Rusia. Sebenarnya ada alternatif lain, seperti Mirage 2000 buatan Perancis, atau JAS Grippen buatan Swedia. Tapi pesawat buatan Eropa ini harganya mahal, lagipula agak sulit membelinya di tengah tekanan AS, yang merupakan sekutu Perancis dan Swedia ini. Sementara Sukhoi lebih murah. Bahkan setelah nego, pesawat-pesawat canggih itu bisa dibayar sebagian besar dengan sembako (barter).
Dari Rusia sendiri pilihan sebenarnya ada dua, MiG-29 Fulcrum dan Su-27 Sukhoi. Dua pabrikan itulah yang dikunjungi Ginanjar dan tim. Seorang rekan wartawan yang menyertai rombongan Ginanjar menggambarkan, pusat produksi MiG sepintas lalu tak beda dengan bengkel mobil. Sulit membayangkan bahwa di sanalah jet-jet tempur mutakhir dilahirkan. Sementara pabrik Sukhoi, kata dia, mendinganlah.

Su-30 Flanker skadron udara 11
Tapi jelas bukan soal kondisi pabrik yang jadi pertimbangan, kenapa akhirnya Indonesia memilih Sukhoi. Yang jelas pula, pesanan pertama sebanyak 12 unit Su-27SK dan Su-27MK lengkap dengan persenjataannya itu, tak terealisasi gara-gara Soeharto keburu lengser. Jet-jet tempur berparuh bengkok ini baru hadir pada tahun 2008, dua Su-27SK dan dua Su-27MK, seiring pemesanan ulang. Dilanjutkan dengan pemesanan tiga Su-27MK2 dan tiga Su-27SKM, untuk melengkapi kekuatan satu skadron Flanker, yang berbasis di Makassar.
Frontline Fighter
Sejarah Su-27 diawali pada tahun 1969. Ketika itu, Uni Soviet yang terlibat perang dingin dengan AS, mengendus bahwa rivalnya itu tengah mengembangkan jet tempur mutakhir. Proyek yang dinamakan Fighter Experimental Design itu digarap oleh pabrikan McDonnel Douglas. Misinya adalah melahirkan jet tempur serba bisa, sadis pada duel udara, ganas sebagai pencegat, dan trengginas untuk mendukung serangan darat. Dari proyek itulah kelak muncul jet tempur jempolan angkatan udara AS, F-15 Eagle.
Mengantisipasi hal itu, Soviet segera membentuk program PFI (perspektivnyi frontovoy istrebitel, Advanced Frontline Fighter), program pengembangan pesawat untuk menandingi jet tempur baru Amerika. Dalam perjalanannya, proyek ini dipecah dua, dengan pertimbangan efisiensi biaya. Yang satu menjadi LPFI (Lyogkyi PFI, atau Lightweight PFI), yang di kemudian hari melahirkan jet tempur taktis jarak pendek MiG-29 Fulcrum. Satunya lagi adalah TPFI (Tyazholyi PFI/Heavy PFI). Untuk kategori frontline fighter kelas berat itu, dipercayakan kepada Sukhoi OKB (Biro Desain Sukhoi), yang kelak berhasil melahirkan Su-27 berikut varian-variannya.
Prototipe jet ini pertama terbang pada Mei 1977. Tentu saja kemunculannya sangat dirahasiakan. Namun, tetap saja tak luput dari pengintaian satelit mata-mata AS, ketika terbang di Zhukovsky Flight Test Center, yang berada di dekat kota Ramenskoe. Pihak AS yang memberi kode RAM-K (diambil dari Ramenskoe) untuk pesawat prototipe ini, menggambarkan bahwa jet tempur tersebut memiliki sayap delta yang lebar, bermesin dua, sirip tegak ganda. Sepintas mirip dengan F-14 Tomcat milik AS. Belakangan, prototipe dengan kode T-10 ini dijuluki “Flanker-A”.
Prosesnya menuju produksi massal agak kurang mulus. Satu T-10 hancur gara-gara kecelakaan pada saat uji terbang, pada Mei 78. Sukhoi OKB lantas mendesain ulang, memperbaiki kelemahan yang ada, dan meluncurkan T-10S, prototipe berikutnya. Itupun masih kurang sempurna, menyusul kecelakaan pada uji terbang di bulan Desember 1981, beberapa bulan setelah penerbangan perdananya.
Baru setelah mengalami sejumlah penyempurnaan, SU-27 mulai masuk produksi massal pada 1982 dan resmi masuk jajaran angkatan udara Soviet pada tahun 1984. Su-27 generasi pertama, yang dijuluki “Flanker-B” oleh NATO ini, disalurkan ke departemen pertahanan udara (PVO), sebagai skadron pencegat (interceptor), menggantikan jet-jet lawas semacam Sukhoi Su-15 dan Tupolev TU-28. Sebagian lagi dimasukkan dalam jajaran angkatan udara Soviet (VVS). Meski dirancang sebagai pesawat serba guna, angkatan udara memilih memfungsikan jet tempur mutakhir ini untuk tugas membunuh armada tanker udara dan AWACS blok barat. Petinggi angkatan udara Soviet ketika itu melihat, AWACS dan pesawat tanker adalah aset vital bagi kesuksesan operasi udara blok barat. Dengan mematikan dua aset maha penting itu, dijamin skadron penempur barat tak bakal banyak berkutik.
Penempur Revolusioner
Boleh dibilang Flanker adalah salah satu masterpiece industri pesawat tempur Rusia. Dirancang sebagai pesawat serba bisa, ganas sebagai pencegat (interceptor), trengginas untuk duel udara (fighter), dan mumpuni untuk mendukung serangan darat (air support/attacker). Mampu terbang di segala cuaca, bahkan menembus badai sekalipun. Tetap garang meski diterbangkan di udara kutub yang beku, dan tetap handal saat dioperasikan di suhu lembab dan panas wilayah tropis.
Tak seperti jet-jet tempur Soviet sebelumnya yang umumnya tampak kuno dan kaku, Flanker sudah memiliki bentuk futuristik dan modern. Sudah pula menerapkan teknologi fly by wire dengan kokpit digital. Bodinya sungguh streamline, meski berukuran besar untuk sebuah fighter. Menggunakan sirip tegak ganda, dan sayap luas mirip sayap delta –namun bukan sayap delta. Body Flanker terbuat dari titanium dan aluminium alloy berkekuatan tinggi, sehingga menghasilkan pesawat yang seringan kaleng namun sekokoh baja.
Mesinnya sendiri menggunakan dua Lyulka Saturn AL-31-F Turbofan, yang masing-masing memiliki tenaga dorong 12.550 kg. Mesin ini didesain dan dibuat oleh Lyulka Engine Design Bureau (NPO Saturn). Lubang air intake yang berada di bagian bawah, memiliki jarak lumayan lebar antara satu dengan yang lainnya. Tujuannya, selain alasan faktor safety, juga menambah luas permukaan untuk daya angkat pesawat. Selain, ruang antara dua mesin itu bisa dipakai untuk menggendong persenjataan.
Lubang air intake dilindungi semacam kisi-kisi, untuk mencegah debu dan partikel lain masuk ke mesin. Terutama saat take off dan landing. Sementara lubang sembur jetnya, menggunakan konsep thrust vectoring. Teknologi revolusioner ini memungkinkan arah semburan jet bisa diatur, sesuai dengan pergerakan pesawat. Itu yang membuat Flanker punya kemampuan hebat dalam manuver. Konsep ini kemudian pernah dicoba ditiru Amerika, namun tak sesukses pesaingnya dari Rusia itu.
Karena itulah, Flanker mampu menggendong arsenal dengan total berat 6000 kg. Termasuk di antaranya, 10 misil udara ke udara (AA), yang terdiri dari misil jarak menengah dengan semi active radar homing jenis R-27R1 (NATO menyebutnya AA-10A Alamo-A), misil AA jenis R-27-T1 (AA-10B Alamo-B) yang punya jangkauan 500 m hingga 60 km dan dipandu dengan infrared, serta R-73E (AA-11 Archer) yang berguna untuk pertempuran jarak dekat berpanduan infrared, dan mampu menerkam musuh dari jarak 300 m hingga 20 km.

Alat gebuk lainnya adalah rudal udara ke darat, serta aneka bom freefall seberat 100kg, 250 kg, dan 500 kg, bom cluster (25 kg – 500 kg) dan roket C-8, C-13, dan C-25. Plus, canon 30 mm jenis Gsh-301 yang mampu memuntahkan peluru 150 butir per putaran serta jarak jangkau sejauh jangkauan misil jarak pendek.
Sistem pembidian dan penguncian target terintegrasi dengan helm penerbang. Kaca helm mampu menampilkan display layar bidik, dengan sistem look down shot down. Jadi, pilot cukup menoleh ke sasaran, dan sistem radarnya akan mengunci sasaran. Tinggal tekan pelatuk, maka misil Alamo atau Archernya akan melesat mengejar sasaran. Hebatnya lagi, Flanker mampu mengunci sepuluh sasaran sekaligus.
Itu bisa dilakukan karena Flanker didukung dengan sistem radar Phazotron N001 Zhuk coherent pulse doppler radar. Jangkauan radarnya luar biasa, mampu mencium dan melacak target seluas 3 meter persegi yang berada 100 km di depan pesawat, dan 40 km di belakang pesawat. Su-27 menggunakan sistem pembidik infrared search and track (IRST), yang ditempatkan di bagian depan kokpit. Sistem ini terintegrasi dengan sistem laser range finder. Sistem ini bisa digabungkan dengan sistem radar, dan bisa pula bekerja terpisah, apabila pilot hendak melakukan serangan diam-diam (stealth attack).
Sementara untuk menghindari dari bokongan lawan, Su-27 punya perlengkapan countermeasure elektronik, yang mampu memberi peringatan kepada pilot, baik secara individual maupun untuk gugus terbang. Sistem peringatan ini terdiri dari radar peringatan, chaff dan infrared decoy –keduanya perangkat pengalih kejaran misil, dan multi-mode jammer aktif, yang ditempatkan di wingtip.
Sebagai pesawat serba guna, Flanker bisa melejit dengan kecepatan 2.500 km per jam (mach 2,35) pada ketinggian jelajah. Kemampuan menanjaknya 325 meter per detik, atau 64 ribu kaki per menit. Flanker sudah mampu mencapai ketinggian terbang maksimal (18,5 km) dalam waktu kurang dari semenit.
Patukan Cobra
Tapi bukan itu saja yang membuat blok barat ngeri terhadap kemunculan Flanker. Keunggulan utamanya adalah kemampuan manuver yang sangat tinggi, paling tinggi dibanding jet-jet tempur yang pernah ada. Bahkan disebut-sebut sebagai pesawat tempur tak tertandingi untuk urusan tarung udara (dog fight).

Manuver Cobra Pugachev
Bagaimana tidak, Flanker mampu membuat belokan tajam dengan radius sangat kecil. Dengan mudah melakukan loop (gerakan lingkaran ke atas) dengan radius yang nyaris nol. Pilot bisa dengan enaknya mengendalikan dan meliuk-liukkan pesawat meski dalam kecepatan rendah dan dalam ketinggian rendah. Manuver akrobat semacam Immelman dan split-S dilakukan nyaris tanpa radius putar.
Dan yang paling spektakuler adalah manuver pagutan cobra, atau Cobra Pugachev. Manuver ini kira-kira bisa dijelaskan begini: Pesawat melaju datar, lalu dengan tetap bergerak datar, moncong bengkoknya mulai mendongak, dan terus mendongak hingga sudut 120 derajat (seperti menengadah). Setelah beberapa saat, moncongnya kembali ke posisi awal. Mirip dengan gerakan ular kobra yang siap mematuk. Manuver luar biasa yang diperkenalkan oleh Viktor Pugachev, pilot uji Sukhoi OKB, memberikan sudut serang (angle of attack) sangat besar, yang membuat pesawat lawan hanya punya kemungkinan selamat 1% saja.
Di tangan pilot trampil, Flanker juga bisa digenjot mendaki tegak lurus, lantas pada puncaknya, pesawat seakan-akan berhenti dan mengambang di angkasa. Detik berikutnya, pesawat seperti jatuh (stall), padahal dengan satu gerakan ringan, pesawat sudah kembali ke posisi normal. Kemampuan hebat itu, didapat dari rancangan lubang sembur jet yang dinamakan thrust vectoring. Lubang sembur Flanker bisa bergerak-gerak, mengikuti arah gerakan pesawat. Ditambah dengan rancang aerodinamika yang kompak, membuat Flanker mampu menari-nari di angkasa dengan enteng.


Combat Proven?
Kemampuan manuver yang super hebat itu, di satu sisi memang mengundang decak kagum dan membuat miris kompetitornya. Meskipun di lain pihak, terutama dari kalangan pilot Amerika, menyebut kemampuan manuver seperti itu tak banyak guna di era perang udara modern, yang lebih mengandalkan serangan jarak jauh lewat rudal yang makin akurat mengejar target. Sederhananya: “Silahkan saja Anda meliuk-liuk, toh kami masih bisa mengunci dan menembak Anda dari jauh.”
Pada kasus itu memang membuktikan perbedaan filosofi tarung udara antara blok barat dan Rusia. Pihak Barat, yang lebih mementingkan keamanan dan keselamatan pilot, cenderung mengembangkan pesawat-pesawat yang punya kemampuan mendeteksi, mengunci dan menembak sasaran dari jarak sangat jauh (long range), plus perangkat pengacau elektronik (jamming). Ini untuk mendukung taktik hit and run, atau istilahnya “Fire and Forget”, lepaskan rudal dan biarkan rudal yang mencari sasaran, sementara pilot langsung cikar kanan untuk menghindari dogfight. Sementara Rusia, justru mengembangkan jet-jet yang mampu bertempur jarak dekat. Flanker dan turunannya adalah contoh bagus bagi filosofi ini.
Meski diklaim sebagai petarung udara terbaik saat ini, pada kenyataanya Flanker belum pernah teruji pada medan pertempuran sesungguhnya. Beda dengan kompetitornya, F-15, yang sudah merasai sejumlah kancah tempur. Dan belum pernah kejadian juga Flanker terlibat adu jago sesungguhnya dengan jet-jet saingan dari blok barat.
Duel udara antara Flanker dengan jet-jet NATO semacam F-15 Eagle baru sebatas dilangsungkan di simulator. Pada beberapa simulasi dogfight yang melibatkan Flanker, jet andalan Rusia itu bisa dengan mudah mengungguli lawan-lawannya.
Namun begitu, tercatat Flanker pernah terjun pula di peperangan, meski dalam skala kecil. Pada Februari 1999, skadron Su-27 milik Ethiopia dilaporkan terlibat bentrok dengan kelompok MiG-29 milik Eritrea. Pada insiden itu, lima MiG-29 berhasil dirontokkan Flanker. Pada November 2000, sebuah Flanker milik angkatan udara Angola, ditembak jatuh oleh misil SA-14 darat ke udara yang ditembakkan pasukan UNITA. Yang teranyar adalah keterlibatan Flanker dari angatan udara Rusia dalam perang di Ossetia Selatan pada 2008. Flanker diterjunkan untuk misi menguasai wilayah udara Tskhinvalli, ibukota Ossetia Selatan. Yang jelas, dalam aksi-aksi tempur tersebut, Flanker memang tak berhadapan dengan lawan sepadan.

Pilihan Tepat
Buat Indonesia, Flanker adalah pilihan tepat. Secara teknis, Flanker paling pas untuk melakukan misi patroli udara untuk mengcover wilayah Indonesia yang terbentang mencapai 5000 km ini. Jet canggih ini mampu menempuh jarak tempur 3.000 km, tanpa perlu pengisian bahan bakar di udara. Juga cocok untuk digunakan mencegat penyusupan pesawat musuh (interceptor), dengan kemampuan lepas landas dan climbing rate yang fantastis.
Faktor rendahnya biaya operasi serta harganya yang relatif murah dibanding F-16 sekalipun, makin membuat Flanker pilihan ideal untuk memperkuat skadron udara Indonesia.Apalagi, pemerintah Rusia tak keberatan bila jet canggih ini dibayar sebagiannya dengan sembako. Dan tak ada embel-embel embargo pula. Saat ini Indonesia suah memiliki sepuluh dari rencana enam belas unit Flanker, yang terdiri dari empat varian. Yakni, Su-27SK berkursi tunggal, Su-30MK yang berkursi ganda (bisa digunakan sebagai pesawat latih) dan Su-27SKM serta Su-30MK2

Operasi Alpha Pembelian A-4 Skyhawk dari Israel


Operasi Alpha Pembelian A-4 Skyhawk dari Israel 



Memasuki tahun 1979, isu tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan pesawat-pesawat tempur TNI AU sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya wajar saja, mengingat kondisi pesawat tempur F-86 dan T-33 memang sudah tua. Sehingga, kemudian pemerintah harus mencari negara produsen yang bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Serikat ternyata bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengisi kekosongan skadron-skadron tempur Indonesia.

Dari penggalian intelijen, Mabes ABRI ternyata kemudian mendapatkan berita, bahwa Israel bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut akhirnya terus diupayakan secara klandestin, oleh karena pasti akan menjadi polemik dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.

Menuju Arizona
Usai tugas menerbangkan F-86 Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33. Namun pada kenyataannya, kondisi kedua pesawat tempur tersebut sudah sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya bersyukur, setelah dibuka dua proyek besar untuk mendatangkan kekuatan baru melalui Operasi Komodo yakni pesawat F-5 E/F Tiger II serta Operasi alpha untuk menghadirkan pesawat A-4 Skyhawk.

Kerahasiaan tingkat tinggi sudah terlihat dari tata cara pemberangkatan personel. Saat kami semua sudah siap untuk berangkat, tidak seorang pun tahu, kemana mereka harus pergi. Operasi Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11. Setelah tujuh gelombang teknisi, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari sepuluh penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.

Sebagai tim terakhir, kami mendapat pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur.

Setelah mengurus segala macam surat-surat dan beragam kelengkapan berbau “Amerika”, akhirnya kami berangkat menuju Singapura, dengan menggunakan flight garuda dari Bandara Halim Perdanakusuma.

Kami mendarat pada senja hari di Bandara Paya Lebar, Singapura, langsung diantar menuju hotel Shangrila. Dihotel tersebut ternyata telah menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI, berikut sejumlah orang yang masih asing dan sama sekali tidak saling dikenalkan. Kami akhirnya mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan kami bukan ke Amerika Serikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat Indonesia.

Saat itu salah satu perwira BIA (Badan Intelejen ABRI, BAIS sekarang) yang telah menunggu segera mengambil semua paspor yang kami miliki dan mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Keterkejutanku semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny Moerdani, waktu itu kepala BIA, mengajak rombongan kami makan malam. Dalam kesempatan tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa basa-basi langsung saja mengatakan, ” Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil apabila sang merpati telah hinggap…”

Mendengar ucapan beliau, perasaanku langsung bergetar. Wah, ini sudah menyangkut operasi rahasia beneran mirip James Bond. Bahkan sekalanya lebih besar. Bagaimana mungkin membawa satu armada pesawat tempur masuk ke Indonesia tanpa diketahui orang? Rasa terkejut semakin besar, oleh karena kami bersepuluh kemudian langsung berganti identitas yang mesti kuhapal diluar kepala saat itu juga.

Setelah acara makan malam, kami harus segera bergegas menuju Bandara Paya lebar dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mulai sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.

Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semakin aneh perjalanan, baru berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan ke Tel Aviv pada penerbangan berikutnya. Sampai di Bandara Ben Gurion, sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus kemana jalan, mengikuti arus penumpang lain menuju pintu keluar.

Tetapi tanpa terduga, kami malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan, sebagai bagian dari operasi intelijen. Kami langsung ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. hanya pasrah, oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya manu dengan hati berdebar.

Tamat riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasia Mossad yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha menyelundup masuk ke negaranya. Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, tetap saja kami berpikir buruk. Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke Israel. Sampai diruang bawah tanah, perasaan kami tenang setelah melihat para perwira BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami memang sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur khusus, guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.

Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made in Indonesia. Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.

Eliat, pangkalan udara rahasia
Semalam tidur dihotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, kami sampai dikota Eliat. Perjalanan dilanjutkan kembali ditengah padang pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar diwilayah barat kota Eliat. Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base number nine di hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh karena dalam skenario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.

Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur israel. Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.

Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama berlatih.

Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung latihan lain seperti saat terbang navigasi atau air to air. sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista. Dalam siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah dengan instruktur ku.

Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa pejabat militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian sipil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang paling jago didunia. Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh karena brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di depan mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka hapalkan saja dikepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.

Wing day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara. Ternyata kami sengaja dikirim kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan Satu.Aku juga dibelikan kamera merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS.Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran foto.

Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal.

Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya. Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus menerima ijasah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.

Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghapalkan hasil-hasil pertandingan bulu tangkis All England. Tambahannya, aku juga diharapkan menghapal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.

Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.



Nantinya, ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York, aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?”

Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.

Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.

A-4 tetaplah A-4 dan sama sekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut. Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lag tabir yang sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia.



Mencari detail tentang operasi Alpha susahnya minta ampun, karena tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3 buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas. Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun begitu tetep aja susah nyarinya (saya merasa beruntung memilikinya). Bahkan dibuku otobiografinya benny Moerdani ga dibahas sama sekali. Terimakasih juga untuk Metro tv yang beberapa bulan lalu juga menayangkan tentang operasi alpha dalam acara special operation (di liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko Poerwoko dan satu orang pilot lagi, tapi lupa namanya).

Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base” diluncurkan, ada polemik yang menyisakan kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin Kasau dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya punt idak lagi berkomentar. Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak unung dan ruginya. Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”

Sebagai informasi tambahan, hingga saat ini bahkan setelah A-4 digrounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU tidak pernah mengakui operasi alpha pernah terjadi.