Su-27 dan Su-30 Flanker
Sekitar sepuluh tahun silam, satu delegasi Indonesia
yang dipimpin Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita mendarat di Moscow, ibukota Rusia. Tujuan mereka cuma
satu, menyambangi pusat produksi jet tempur milik Rusia, khususnya pabrik
Mikoyan-Gurevich yang memproduksi jet-jet tempur MiG dan Sukhoi OKB, yang
melahirkan pesawat-pesawat perang berinisial Su.
Ginanjar yang pensiunan jenderal bintang tiga (Marsekal Madya) TNI-AU,
mengemban tugas dari Presiden Soeharto, memilih jet tempur terbaik untuk
memperkuat jajaran angkatan udara Indonesia. Maklum, pesawat tempur
TNI-AU yang ada sudah banyak yang usang, seperti A4-SkyHawk, OV-10 Bronco.
Sementara pesawat yang relatif modern semacam F-16 Fighting Falcon dan F-5E
Tiger sebagian besar harus ngendon di darat gara-gara embargo senjata yang
diberlakukan Amerika.
Ketika itu pemerintah AS memang memberlakukan embargo senjata kepada Indonesia, yang
dianggap kurang memperhatikan HAM dan proses demokrasi. Makanya, rencana awal
membeli sejumlah F-16 terpaksa batal, karena senat AS tak memberi ijin.
Jangankan membeli pesawat baru, pasokan suku cadang pun dihentikan. Itu yang
membuat jet-jet buatan Amerika itu tak bisa terbang.
Kokpit Flanker
Karena desakan kebutuhan, maka Indonesia mencari alternatif lain.
Salah satunya adalah Rusia. Negeri yang dahulu bernama Uni Soviet ini juga
punya banyak stok pesawat tempur mutakhir, tak kalah dengan produk blok barat.
Karena memang diciptakan untuk menandingi peralatan perang NATO, dalam konteks
lomba senjata di era perang dingin.
Setelah timbang sana
timbang sini, pilihan dijatuhkan pada Su-27, pesawat tempur multi guna mutakhir
yang menjadi andalan angkatan udara Rusia. Sebenarnya ada alternatif lain,
seperti Mirage 2000 buatan Perancis, atau JAS Grippen buatan Swedia. Tapi
pesawat buatan Eropa ini harganya mahal, lagipula agak sulit membelinya di
tengah tekanan AS, yang merupakan sekutu Perancis dan Swedia ini. Sementara
Sukhoi lebih murah. Bahkan setelah nego, pesawat-pesawat canggih itu bisa
dibayar sebagian besar dengan sembako (barter).
Dari Rusia sendiri pilihan sebenarnya ada dua, MiG-29 Fulcrum dan Su-27
Sukhoi. Dua pabrikan itulah yang dikunjungi Ginanjar dan tim. Seorang rekan
wartawan yang menyertai rombongan Ginanjar menggambarkan, pusat produksi MiG
sepintas lalu tak beda dengan bengkel mobil. Sulit membayangkan bahwa di
sanalah jet-jet tempur mutakhir dilahirkan. Sementara pabrik Sukhoi, kata dia,
mendinganlah.
Su-30 Flanker skadron udara 11
Tapi jelas bukan soal kondisi pabrik yang jadi pertimbangan, kenapa akhirnya
Indonesia
memilih Sukhoi. Yang jelas pula, pesanan pertama sebanyak 12 unit Su-27SK dan
Su-27MK lengkap dengan persenjataannya itu, tak terealisasi gara-gara Soeharto
keburu lengser. Jet-jet tempur berparuh bengkok ini baru hadir pada tahun 2008,
dua Su-27SK dan dua Su-27MK, seiring pemesanan ulang. Dilanjutkan dengan
pemesanan tiga Su-27MK2 dan tiga Su-27SKM, untuk melengkapi kekuatan satu
skadron Flanker, yang berbasis di Makassar.
Frontline Fighter
Sejarah Su-27 diawali pada tahun 1969. Ketika itu, Uni Soviet yang terlibat
perang dingin dengan AS, mengendus bahwa rivalnya itu tengah mengembangkan jet
tempur mutakhir. Proyek yang dinamakan Fighter Experimental Design itu digarap
oleh pabrikan McDonnel Douglas. Misinya adalah melahirkan jet tempur serba
bisa, sadis pada duel udara, ganas sebagai pencegat, dan trengginas untuk
mendukung serangan darat. Dari proyek itulah kelak muncul jet tempur jempolan
angkatan udara AS, F-15 Eagle.
Mengantisipasi hal itu, Soviet segera membentuk program PFI (perspektivnyi
frontovoy istrebitel, Advanced Frontline Fighter), program pengembangan pesawat
untuk menandingi jet tempur baru Amerika. Dalam perjalanannya, proyek ini
dipecah dua, dengan pertimbangan efisiensi biaya. Yang satu menjadi LPFI
(Lyogkyi PFI, atau Lightweight PFI), yang di kemudian hari melahirkan jet
tempur taktis jarak pendek MiG-29 Fulcrum. Satunya lagi adalah TPFI (Tyazholyi
PFI/Heavy PFI). Untuk kategori frontline fighter kelas berat itu, dipercayakan
kepada Sukhoi OKB (Biro Desain Sukhoi), yang kelak berhasil melahirkan Su-27
berikut varian-variannya.
Prototipe jet ini pertama terbang pada Mei 1977. Tentu saja kemunculannya
sangat dirahasiakan. Namun, tetap saja tak luput dari pengintaian satelit
mata-mata AS, ketika terbang di Zhukovsky
Flight Test
Center, yang berada di dekat kota Ramenskoe. Pihak AS
yang memberi kode RAM-K (diambil dari Ramenskoe) untuk pesawat prototipe ini,
menggambarkan bahwa jet tempur tersebut memiliki sayap delta yang lebar,
bermesin dua, sirip tegak ganda. Sepintas mirip dengan F-14 Tomcat milik AS.
Belakangan, prototipe dengan kode T-10 ini dijuluki “Flanker-A”.
Prosesnya menuju produksi massal agak kurang mulus. Satu T-10 hancur
gara-gara kecelakaan pada saat uji terbang, pada Mei 78. Sukhoi OKB lantas
mendesain ulang, memperbaiki kelemahan yang ada, dan meluncurkan T-10S,
prototipe berikutnya. Itupun masih kurang sempurna, menyusul kecelakaan pada
uji terbang di bulan Desember 1981, beberapa bulan setelah penerbangan
perdananya.
Baru setelah mengalami sejumlah penyempurnaan, SU-27 mulai masuk produksi
massal pada 1982 dan resmi masuk jajaran angkatan udara Soviet pada tahun 1984.
Su-27 generasi pertama, yang dijuluki “Flanker-B” oleh NATO ini, disalurkan ke
departemen pertahanan udara (PVO), sebagai skadron pencegat (interceptor),
menggantikan jet-jet lawas semacam Sukhoi Su-15 dan Tupolev TU-28. Sebagian
lagi dimasukkan dalam jajaran angkatan udara Soviet (VVS). Meski dirancang
sebagai pesawat serba guna, angkatan udara memilih memfungsikan jet tempur
mutakhir ini untuk tugas membunuh armada tanker udara dan AWACS blok barat.
Petinggi angkatan udara Soviet ketika itu melihat, AWACS dan pesawat tanker
adalah aset vital bagi kesuksesan operasi udara blok barat. Dengan mematikan
dua aset maha penting itu, dijamin skadron penempur barat tak bakal banyak
berkutik.
Penempur Revolusioner
Boleh dibilang Flanker adalah salah satu masterpiece industri pesawat tempur
Rusia. Dirancang sebagai pesawat serba bisa, ganas sebagai pencegat
(interceptor), trengginas untuk duel udara (fighter), dan mumpuni untuk
mendukung serangan darat (air support/attacker). Mampu terbang di segala cuaca,
bahkan menembus badai sekalipun. Tetap garang meski diterbangkan di udara kutub
yang beku, dan tetap handal saat dioperasikan di suhu lembab dan panas wilayah
tropis.
Tak seperti jet-jet tempur Soviet sebelumnya yang umumnya tampak kuno dan
kaku, Flanker sudah memiliki bentuk futuristik dan modern. Sudah pula
menerapkan teknologi fly by wire dengan kokpit digital. Bodinya sungguh
streamline, meski berukuran besar untuk sebuah fighter. Menggunakan sirip tegak
ganda, dan sayap luas mirip sayap delta –namun bukan sayap delta. Body Flanker
terbuat dari titanium dan aluminium alloy berkekuatan tinggi, sehingga
menghasilkan pesawat yang seringan kaleng namun sekokoh baja.
Mesinnya sendiri menggunakan dua Lyulka Saturn AL-31-F Turbofan, yang
masing-masing memiliki tenaga dorong 12.550 kg. Mesin ini didesain dan dibuat
oleh Lyulka Engine Design Bureau (NPO Saturn). Lubang air intake yang berada di
bagian bawah, memiliki jarak lumayan lebar antara satu dengan yang lainnya.
Tujuannya, selain alasan faktor safety, juga menambah luas permukaan untuk daya
angkat pesawat. Selain, ruang antara dua mesin itu bisa dipakai untuk
menggendong persenjataan.
Lubang air intake dilindungi semacam kisi-kisi, untuk mencegah debu dan
partikel lain masuk ke mesin. Terutama saat take off dan landing. Sementara
lubang sembur jetnya, menggunakan konsep thrust vectoring. Teknologi
revolusioner ini memungkinkan arah semburan jet bisa diatur, sesuai dengan
pergerakan pesawat. Itu yang membuat Flanker punya kemampuan hebat dalam
manuver. Konsep ini kemudian pernah dicoba ditiru Amerika, namun tak sesukses
pesaingnya dari Rusia itu.
Karena itulah, Flanker mampu menggendong arsenal dengan total berat 6000 kg.
Termasuk di antaranya, 10 misil udara ke udara (AA), yang terdiri dari misil
jarak menengah dengan semi active radar homing jenis R-27R1 (NATO menyebutnya
AA-10A Alamo-A), misil AA jenis R-27-T1 (AA-10B Alamo-B) yang punya jangkauan
500 m hingga 60 km dan dipandu dengan infrared, serta R-73E (AA-11 Archer) yang
berguna untuk pertempuran jarak dekat berpanduan infrared, dan mampu menerkam
musuh dari jarak 300 m hingga 20 km.
Alat gebuk lainnya adalah rudal udara ke darat, serta aneka bom freefall
seberat 100kg, 250 kg, dan 500 kg, bom cluster (25 kg – 500 kg) dan roket C-8,
C-13, dan C-25. Plus, canon 30 mm jenis Gsh-301 yang mampu memuntahkan peluru
150 butir per putaran serta jarak jangkau sejauh jangkauan misil jarak pendek.
Sistem pembidian dan penguncian target terintegrasi dengan helm penerbang.
Kaca helm mampu menampilkan display layar bidik, dengan sistem look down shot
down. Jadi, pilot cukup menoleh ke sasaran, dan sistem radarnya akan mengunci
sasaran. Tinggal tekan pelatuk, maka misil Alamo
atau Archernya akan melesat mengejar sasaran. Hebatnya lagi, Flanker mampu
mengunci sepuluh sasaran sekaligus.
Itu bisa dilakukan karena Flanker didukung dengan sistem radar Phazotron
N001 Zhuk coherent pulse doppler radar. Jangkauan radarnya luar biasa, mampu
mencium dan melacak target seluas 3 meter persegi yang berada 100 km di depan
pesawat, dan 40 km di belakang pesawat. Su-27 menggunakan sistem pembidik
infrared search and track (IRST), yang ditempatkan di bagian depan kokpit.
Sistem ini terintegrasi dengan sistem laser range finder. Sistem ini bisa
digabungkan dengan sistem radar, dan bisa pula bekerja terpisah, apabila pilot
hendak melakukan serangan diam-diam (stealth attack).
Sementara untuk menghindari dari bokongan lawan, Su-27 punya perlengkapan
countermeasure elektronik, yang mampu memberi peringatan kepada pilot, baik
secara individual maupun untuk gugus terbang. Sistem peringatan ini terdiri
dari radar peringatan, chaff dan infrared decoy –keduanya perangkat pengalih
kejaran misil, dan multi-mode jammer aktif, yang ditempatkan di wingtip.
Sebagai pesawat serba guna, Flanker bisa melejit dengan kecepatan 2.500 km
per jam (mach 2,35) pada ketinggian jelajah. Kemampuan menanjaknya 325 meter
per detik, atau 64 ribu kaki per menit. Flanker sudah mampu mencapai ketinggian
terbang maksimal (18,5 km) dalam waktu kurang dari semenit.
Patukan Cobra
Tapi bukan itu saja yang membuat blok barat ngeri terhadap kemunculan Flanker.
Keunggulan utamanya adalah kemampuan manuver yang sangat tinggi, paling tinggi
dibanding jet-jet tempur yang pernah ada. Bahkan disebut-sebut sebagai pesawat
tempur tak tertandingi untuk urusan tarung udara (dog fight).
Manuver Cobra Pugachev
Bagaimana tidak, Flanker mampu membuat belokan tajam dengan radius sangat
kecil. Dengan mudah melakukan loop (gerakan lingkaran ke atas) dengan radius
yang nyaris nol. Pilot bisa dengan enaknya mengendalikan dan meliuk-liukkan
pesawat meski dalam kecepatan rendah dan dalam ketinggian rendah. Manuver
akrobat semacam Immelman dan split-S dilakukan nyaris tanpa radius putar.
Dan yang paling spektakuler adalah manuver pagutan cobra, atau Cobra
Pugachev. Manuver ini kira-kira bisa dijelaskan begini: Pesawat melaju datar,
lalu dengan tetap bergerak datar, moncong bengkoknya mulai mendongak, dan terus
mendongak hingga sudut 120 derajat (seperti menengadah). Setelah beberapa saat,
moncongnya kembali ke posisi awal. Mirip dengan gerakan ular kobra yang siap
mematuk. Manuver luar biasa yang diperkenalkan oleh Viktor Pugachev, pilot uji
Sukhoi OKB, memberikan sudut serang (angle of attack) sangat besar, yang
membuat pesawat lawan hanya punya kemungkinan selamat 1% saja.
Di tangan pilot trampil, Flanker juga bisa digenjot mendaki tegak lurus,
lantas pada puncaknya, pesawat seakan-akan berhenti dan mengambang di angkasa.
Detik berikutnya, pesawat seperti jatuh (stall), padahal dengan satu gerakan
ringan, pesawat sudah kembali ke posisi normal. Kemampuan hebat itu, didapat
dari rancangan lubang sembur jet yang dinamakan thrust vectoring. Lubang sembur
Flanker bisa bergerak-gerak, mengikuti arah gerakan pesawat. Ditambah dengan
rancang aerodinamika yang kompak, membuat Flanker mampu menari-nari di angkasa
dengan enteng.
Combat Proven?
Kemampuan manuver yang super hebat itu, di satu sisi memang mengundang decak
kagum dan membuat miris kompetitornya. Meskipun di lain pihak, terutama dari
kalangan pilot Amerika, menyebut kemampuan manuver seperti itu tak banyak guna
di era perang udara modern, yang lebih mengandalkan serangan jarak jauh lewat
rudal yang makin akurat mengejar target. Sederhananya: “Silahkan saja Anda
meliuk-liuk, toh kami masih bisa mengunci dan menembak Anda dari jauh.”
Pada kasus itu memang membuktikan perbedaan filosofi tarung udara antara
blok barat dan Rusia. Pihak Barat, yang lebih mementingkan keamanan dan
keselamatan pilot, cenderung mengembangkan pesawat-pesawat yang punya kemampuan
mendeteksi, mengunci dan menembak sasaran dari jarak sangat jauh (long range),
plus perangkat pengacau elektronik (jamming). Ini untuk mendukung taktik hit
and run, atau istilahnya “Fire and Forget”, lepaskan rudal dan biarkan rudal
yang mencari sasaran, sementara pilot langsung cikar kanan untuk menghindari
dogfight. Sementara Rusia, justru mengembangkan jet-jet yang mampu bertempur
jarak dekat. Flanker dan turunannya adalah contoh bagus bagi filosofi ini.
Meski diklaim sebagai petarung udara terbaik saat ini, pada kenyataanya
Flanker belum pernah teruji pada medan
pertempuran sesungguhnya. Beda dengan kompetitornya, F-15, yang sudah merasai
sejumlah kancah tempur. Dan belum pernah kejadian juga Flanker terlibat adu
jago sesungguhnya dengan jet-jet saingan dari blok barat.
Duel udara antara Flanker dengan jet-jet NATO semacam F-15 Eagle baru sebatas
dilangsungkan di simulator. Pada beberapa simulasi dogfight yang melibatkan
Flanker, jet andalan Rusia itu bisa dengan mudah mengungguli lawan-lawannya.
Namun begitu, tercatat Flanker pernah terjun pula di peperangan, meski dalam
skala kecil. Pada Februari 1999, skadron Su-27 milik Ethiopia
dilaporkan terlibat bentrok dengan kelompok MiG-29 milik Eritrea. Pada insiden itu, lima MiG-29 berhasil
dirontokkan Flanker. Pada November 2000, sebuah Flanker milik angkatan udara Angola,
ditembak jatuh oleh misil SA-14 darat ke udara yang ditembakkan pasukan UNITA.
Yang teranyar adalah keterlibatan Flanker dari angatan udara Rusia dalam perang
di Ossetia Selatan pada 2008. Flanker diterjunkan untuk misi menguasai wilayah
udara Tskhinvalli, ibukota Ossetia Selatan. Yang jelas, dalam aksi-aksi tempur
tersebut, Flanker memang tak berhadapan dengan lawan sepadan.
Pilihan Tepat
Buat Indonesia,
Flanker adalah pilihan tepat. Secara teknis, Flanker paling pas untuk melakukan
misi patroli udara untuk mengcover wilayah Indonesia yang terbentang mencapai
5000 km ini. Jet canggih ini mampu menempuh jarak tempur 3.000 km, tanpa perlu
pengisian bahan bakar di udara. Juga cocok untuk digunakan mencegat penyusupan
pesawat musuh (interceptor), dengan kemampuan lepas landas dan climbing rate
yang fantastis.
Faktor rendahnya biaya operasi serta harganya yang relatif murah dibanding
F-16 sekalipun, makin membuat Flanker pilihan ideal untuk memperkuat skadron
udara Indonesia.Apalagi, pemerintah Rusia tak keberatan bila jet canggih ini
dibayar sebagiannya dengan sembako. Dan tak ada embel-embel embargo pula. Saat
ini Indonesia
suah memiliki sepuluh dari rencana enam belas unit Flanker, yang terdiri dari
empat varian. Yakni, Su-27SK berkursi tunggal, Su-30MK yang berkursi ganda
(bisa digunakan sebagai pesawat latih) dan Su-27SKM serta Su-30MK2