Kamis, 16 Agustus 2012

KRI Harimau, Saksi Bisu Pertempuran Laut Aru



KRI Harimau, Saksi Bisu Pertempuran Laut Aru


Jakarta: Kapal perang Republik Indonesia (KRI) Harimau peninggalan bersejarah dari upaya perebutan wilayah Irian Barat dari tangan penjajah ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sekarang dikenal sebagai wilayah Papua, ada di Museum Purna Bhakti Pertiwi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur.

Satu-satunya kapal peninggalan sejarah konfrontasi militer Indonesia-Belanda pada 1961 ini berdiri kokoh di daratan Jakarta. Kapal perang jenis motor torpedo boat (MTB) dengan bobot 183,4 ton dengan kelas Jaguar atau terbuat dari besi baja ringan buatan Jerman Barat ini dibeli pemerintah Indonesia dan bergabung di armada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 1960. Kapal ini dimaksudkan untuk membantu menyelamatkan wilayah NKRI dari jajahan dan serbuan tentara Belanda.

"Sayangnya saat kapal ini dibeli dari Jerman Barat tidak dilengkapi dengan amunisi terpedonya, hanya tabungnya saja. Karena waktu itu dilarang sama negara Sekutu. Alhasil, kita perang di Laut Aru itu tidak menggunakan terpedo. Dan dalam peristiwa Aru-nya tidak untuk perang tapi digunakan untuk infiltrasi atau menyelundupkan tentara kita di daratan Irian Barat dan operasinya sendiri bersifat rahasia," kata Ridhani, penasihat Direktur Musium Purna Bhakti Pertiwi di TMII Jakarta Timur, Jumat (10/2).

Setelah pertempuran Aru tersebut, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Presiden Soekarno mengangkat Soeharto selaku Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Ia yang mengomando perebutan wilayah Irian Barat dari tangan Belanda ke NKRI itu juga memerintahkan KRI Harimau ikut dalam perang tersebut atau disebut Trikora (Tri Komando Rakyat).

"Karena Pak Harto ahli strategi, maka dalam waktu relatif singkat maka dibentuklah Komando Pasukan Mandala dan itu pasukan gabungan terbesar pada waktu itu," tuturnya.

Di sisi lain, Hary Supryatna selaku perwakilan TNI AL yang ditugaskan untuk mengawaki KRI Harimau di museum ini menjelaskan setelah kapal tersebut dipakai untuk berperang di Laut Aru, Irian Barat, kapal tersebut disimpan di Armada Timur Indonesia di Surabaya. "Lalu dibawa ke Jakarta melalui Tanjungpriok lalu dibawa ke museum ini," jelasnya.

Di eranya, KRI Harimau hanya bisa mengangkut prajurit yang jumlah awaknya itu hanya cukup menampung 39 orang termasuk sang komandan dengan mesin diesel Mercedes-Benz MB 51B yang berkekuatan 3000 tenaga kuda dengan kecepatan 42 knot dan daya jelajah 500 mil laut. Kapal perang yang berdimensi panjang 42,6 meter, lebar 7,1 meter, dan draft 2,5 meter tersebut, kini menjadi museum hidup, lantaran kini kapal tersebut telah menjadi bagian dari museum Purna Bhakti Pertiwi.

Kapal KRI Harimau ini juga telah dilengkapi diorama sejarah perjuangan pada masa lampau yang dihiasi foto-foto dan lukisan berbahan dasar fiber yang berlokasi di lambung kapal, yang dahulunya tempat tersebut dipakai sebagai Kamar Mesin. Tak hanya itu, Ruang Dapur, Ruang Sekoci dan Ruang Komunikasi yang dahulu dipakai untuk berperang juga bisa dilalui oleh para pengunjung. Namun hanya ruang mesin saja yang dirombak untuk dijadikan diorama sejarah kapal tersebut.

Diperkirakan Sekitar 200 pengunjung bisa masuk ke kapal bersejarah ini. "Waktu kapal ini masih berfungsi waktu itu juga panglima operasi Mandalanya itu Pak Soeharto, karena Pak Soeharto itu ikut mengkomandoi KRI ini dan karena KRI ini satu-satunya yang selamat maka kapal ini dimuseumkan dan Pak Soeharto juga telah mengizinkan," tambah Ridhani.

Sementara soal pengangkutan KRI Harimau dijelaskan seorang perwakilan dari TNI AL Ibrahim. Berawal dari Tanjungpriok yang diangkut dengan truk trailer dengan kapasitas kekuatan 80 ton. Mesin dan peralatan yang memberatkan itu diangkat untuk beberapa hari sehingga bobot kapal menjadi berkurang. "Karena kapal ini besar dan lebar maka diangkutnya dengan dua buah trailer dengan kepala traktor dalam kecepatan 10 hingga 20 km per jam sehingga datang ke museum ini selama dua hari tiga malam," paparnya.

Pada 22 Agustus 1993, KRI Harimau diserahkan oleh TNI AL kepada Yayasan Purna Bhakti Pertiwi untuk dijadikan monumen. Hal itu baru dapat dilaksanakan setelah kapal direnovasi pada beberapa bagiannya yang selesai pada Jumat ini. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Soeparno meresmikan kembali penggunaannya sebagai monumen bersejarah di Museum Purnabhakti Pertiwi TMII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar