F-16 C/D, gambar di unduh melalui google
Tepatnya tanggal 2 Juni 1995, dua buah pesawat tempur F-16 milik Angkatan
Udara Amerika Serikat yang tengah beroperasi di wilyah Bosnia yang diduduki oleh Pasukan Serbia.
Tanpa diketahui ke dua pilot pesawat tempur tersebut, suatu jebakan tengah
dipersiapkan pasukan Serbia,
yakni sebuah baterai rudal anti udara SA-6. Pasukan Serbia menyalakan radar dan
mematikan radar sistem pertahananya, agar sesedikit mungkin radiasi elektronik
dari radar dapat diendus oleh F-16 yang mengudara. Begitu kedua F-16 tersebut
berada tepat di atas baterai rudal anti udara tersebut, wusss !!! Dua
rudal berpemandu radar semi aktif 2K12 meluncur. Rudal pertama meledak di
antara dua pesawat F-16 tersebut, namun rudal kedua menghajar salah satu F-16
tersebut, beruntung pilotnya selamat, dan berhasil diselamatkan pasukan Marinir
Amerika serikat beberapa hari kemudian. Itulah sepenggal kisah insiden Mrkonjić
Grad, suatu kisah tentang keberhasilan pasukan Serbia menjegal F-16, nah kini
F-16 itu kembali harus melawan “jegalan-jegalan”, bahkan kini lawannya mungkin
lebih tangguh, karena tidak seperti sistem anti udara SA-6, kini lawannya
adalah salah satu Lembaga Tinggi Negara, yang sudah kita kenal dengan berbagai
manuvernya yang serba ajaib, bahkan cenderung tidak dapat ditebak, yakni: DPR.
Kenapa sih harus F-16 ?
Jika kita baca risalah rapat Raker Komisi I DPR RI dengan Menteri
Pertahanan dan Panglima TNI tanggal 27 Januari 2011, sebenranya ada beberapa
hal yang membuat TNI manjatuhkan pilihan pada F-16 hibah, yakni:
1. Sisa jam terbang (Flight Hour) F-16 Bekas Angkatan Udara
Amerika Serikat masih lama.
Pada halaman 68 Risalah Raker, KASAU menjelaskan bahwa sisa Flight Hour
pesawat ini masih lama, yakni sekitar 4000 sampai 5000 jam terbang, dengan
penggunaan rata-rata di indonesia yang pertahunnya adalah 200 jam terbang, maka
F-16 tersebut masih dapat digunakan hingga 20 sampai 25 tahun mendatang. Selain
itu apa bila sudah hampir habis, atau habis jam terbangnya, maka terdapat dua
program yang dapat dilakukan, pertama adalah MLU (Mid Life Update) yakni
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan pesawat, sehingga dapat memperpanjang
umur pakai pesawat, atau Over haul, yakni mengembalikan kondisi pesawat pada
kondisi layak terbang.
2. Dengan anggaran membeli 6 Unit F-16 Block 50 baru, kita
mendapat 24 Unit F-16 bekas retrofit + mengupgrade F-16 yang telah dimiliki TNI
AU.
Berdasarkan pernyataan KASAU pada halaman 69 Risalah Raker, disebutkan
bahwa, dengan anggaran untuk membeli 6 unit F-16 Block 50, kita bisa
mendapatkan 24 unit F-16 Block 32 retrofit yang kemampuannya setara dengan F-16
Block 50, dan juga meng- upgrade F-16 Block 15 OCU yang telah dimiliki TNI AU.
Sehingga apabila di ambil opsi Pesawat F-16 bekas, maka dengan anggaran
tersebut TNI AU akan mendapat 24 Unit F-16 block 32 (bekas angkatan Udara
Amerika Serikat yang di retrofit) ditambah 10 Unit F-16 block 32 (milik TNI AU
yang di up grade), sehingga total akan ada 34 Unit F-16 Block 32. Dengan jumlah
tersebut tentu akan meningkatkan kemampuan TNI AU secara signifikan.
3. Biaya Operasional F-16 Yang Ekonomis.
Menurut KASAU biaya Operasional F-16 adalah sekitar 70 Juta Rupiah
perjamnya. Mahal ? Coba dibandingkan dengan Sukhoi 27/30 yang biaya
operasionalnya mencapai 500 Juta Rupiah perjam (perkiraan kasar). Oleh karena
itu untuk tulang punggung TNI AU, sebenarnya F-16 adalah pilihan terbaik,
terlebih lagi apabila pesawat tersebut akan digunakan untuk operasi rutin,
seperti patroli di wilayah yang disengketakan, atau patroli di wilayah terluar
untuk menujukan kedaulatan negara, tentu biaya operasional rendah adalah aset
yang sangat penting. Dengan demikian maka tugas seperti patroli rutin tentu
akan lebih cocok dibebankan kepada F-16. Sementara untuk keperluan mencegat
sasaran yang bergerak cepat (interceptor) atau menghancurkan satu sasaran
dengan presisi (strike) tentu akan lebih cocok dibebankan kepada Sukhoi 27/30
milik TNI AU.
4. Apabila Mengambil Opsi F-16 Block 50 Baru, Maka
Akan Mempersulit TNI AU Untuk Merawatnya.
Ternyata menurut penjabaran KASAU dalam risalah raker, akan sangat sulit
memelihara dua jenis F-16 yang berlainan. Karena F-16 Block 15 OCU milik TNI AU
memiliki konfigurasi dan perawatan yang berbeda dengan F-16 Block 50. Dengan
demikian untuk merawat kedua jenis pesawat tersebut mungkin TNI AU harus menyediakan
2 mesin yang berbeda, spare part yang berbeda, dan tata cara perawatan yang
berbeda, sehingga dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap kemudahan
perawatan.
Dengan adanya hal-hal tersebut, tentu sebenarnya adalah suatu hal yang masuk
akal/logis apabila kita mengambil opsi F-16 bekas Angkatan Udara Amerika
Serikat. Karena dengan dana yang sama dibandingkan membeli yang baru, kita bisa
mendapatkan jumlah yang lebih banyak dengan kualitas yang setara. Namun hal
yang logis ini sepertinya masih harus dipertentangkan melawan ribuan hadangan
dan jegalan beserta ribuan alasan dari anggota DPR yang menurut saya kok sangat
tidak logis.
Antara lain ada anggota Komisi I DPR Ahmad Muzani. Pada berita inilah dot
com tanggal 15 Februari 2011, yang bersangkutan menyatakan “Kami meminta dikaji
dulu secara menyeluruh lebih untung terima hibah atau beli baru. Kalau sudah
diputuskan terima hibah kami minta kajiannya seperti apa,”. Suatu hal yang
sangat aneh sekali, karena berdasarkan risalah Raker, sebenarnya KASAU sudah
mengungkapkan kajian mengenai alasan pemilihan F-16 bekas Angkatan Udara
Amerika Serikat, baik dari segi efesiensi, teknologi, dan kesiapan TNI AU
sendiri selaku pengguna, namun kok sepertinya ada kesalahan komunikasi oleh Pak
Ahmad Muzani yang kembali meminta kajian ? Mungkin ada suatu hal yang
menyebabkan Pak Ahmad tidak menyimak pernyataan KASAU, namun yang jelas
kesalahan Komunikasi seperti ini harusnya tidak terjadi berulang-ulang.
Lalu ada lagi pernyataan Wasekjen DPP Partai Demokrat Ramadhan Pohan pada
berita inilah dot com tertanggal 16 Februari 2011, yang menyatakan “Lifetime
operasional pesawat F-16 AS tersebut diperkirakan sampai dengan 2020 atau
sekitar 10 tahun. Padahal dokumen MEF (Minimum Essential Forces) Kemenhan
merencanakan 2024 target postur kekuatan pokok minimal RI akan tercapai. Dengan
demikian, rencana hibah F-16 dari AS kurang strategis dan pararel berdasarkan
dokumen MEF,”. Pernyataan ini lagi membuat saya makin bingung, pasalnya Kasau
sudah menjelaskan bahwa sisa pakai F-16 bekas Angkatan Udara Amerika Serikat
masih bisa 20-25 tahun lagi, saya jadi bertanya-tanya dari mana sumbernya yang
menyatakan sisa umur pesawat adalah 10 tahun lagi ? Sungguh suatu hal yang
sangat mengherankan sekali. Selain itu pada berita inilah dot Com
tertanggal 17 Februari 2011, Pak Ramadhan Pohan menyatakan “Sebaiknya
di-cancel-lah, karena kita beli, bukan produksi atau join production dengan
Amerika. Sedangkan, yang dengan Korsel kita sudah sepakati join production dan
join investation,”. Nah lalu pertanyaannya selama KFX belum di produksi,
bagaimana TNI AU akan dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal ? Bagaimana
TNI AU mempertahankan kemahiran para pilot-pilotnya ? Apabila Kemenhan
Disarankan untuk mempercepat proyek KFX, berapa banyak tambahan anggraran yang
diberikan untuk mempersiapkan prduksi pesawat tersebut dengan cepat ? Berapa
banyak suntikan dana oleh pemerintah yang diberikan kepada PT DI untuk segera
membangun fasilitas baru pembuatan pesawat tempur ? kalau jawabannya belum ada,
tentu meminta Kemenhan untuk segera mempercepat produksi KFX adalah hal yang
sangat tidak masuk akal.
Sebagai penutup ada satu hal yang menurut saya merupakan alasan penting
mengapa kita harus mengambil opsi F-16 bekas, yakni untuk alasan asuransi.
Begini, proyek joint venture pembuatan pesawat tempur baru tidak selamanya
berjalan mulus. Ambil contoh proyek joint venture JSF F-35. Proyek ini
merupakan proyek keroyokan antara negara-negara yang menguasai teknologi dan
ekonomi yang luar biasa kuat, namun hasilnya ? Hingga kini masih terdapat
berbagai kelemahan pada F-35 yang menyebabkan pesawat ini belum memasuki dinas
operasional, biaya per unit yang semakin membengkak, hingga terjadi sengketa
diantara peserta proyek. Maka tidak heran bahkan AS pun akan memperpanjang masa
pakai F-16, hingga F-35 masuk dinas operasional. Paling kasihan adalah Inggris,
selain tidak mendapat kode untuk software pada pesawat tempur tersebut, Inggris
sudah keburu mempensiunkan seluruh Harrier yang seharusnya digantikan F-35
tersebut, alhasil kini kapal induk milik Inggris tidak memiliki pesawat rempur
lagi. Suatu hal yang sangat ironis apabila mengingat Inggris sebelumnya adalah
raja lautan. Nah apaila kita belajar dari kasus tersebut maka F-16 tersebut
dapat kita gunakan sebagai asurasi, apabila program KFX bermasalah, jangan
sampai kita mengalami kevakuman pesawat tempur sebagaimana yang dialami oleh
Inggris. Apabila program KFX mengalami kemunduran waktu produksi, masih ada
yang bisa mengawal Wilayah Udara Tanah Air Ini.
diolah dari berbagai sumber